Selasa, 21 Juli 2009

9 Langkah untuk Menulis Buku

Assalaamu'alaikum wr wb.

Teman-teman, ini sekadar sharing aja dari saya. Semoga ada
manfaatnya. Bagi yang punya tips lain, silakan tulis saja di sini,
supaya lebih banyak inspirasi yang bisa diambil dan dimanfaatkan oleh
siapa pun. Berikut beberapa tips dari saya untuk menulis buku:

===

9 Langkah singkat untuk penulisan buku: (sekadar sharing pengalaman saja)

1. Eksplorasi tema yang akan diangkat.
Biasanya kita harus ‘hunting’ fenomena yang sedang hangat dibicarakan.
Atau, bisa juga tema ‘abadi’ seperti masalah cinta. Tapi, kita coba
bahas dari sudut pandang lain. Meski nilainya Islam, tetapi ‘rasanya’
khas: bahasa, metode penyampaian, segmentasi pembaca, dan solusi
praktis/sistemik.
2. Setelah tema kita genggam. Langkah kedua adalah menentukan judul
yang kira-kira menarik. Usahakan judul untuk buku nonfiksi, ‘cuma’
terdiri dari 3 kata. Maksimal boleh 4 kata. Selain menarik, juga hemat
kata. Simple deh. :-)
3. Membuat outline.
Ini diperlukan supaya pembahasan tidak melebar ke mana-mana. Pagari
dengan beberapa bab yang mungkin untuk dibuatkan tulisannya. Jumlah bab
bergantung kepada berapa banyak materi yang akan kita kupas habis dalam
satu buku tersebut. Contohnya bisa lihat buku-buku yang sudah ada.
Simak bagaimana para penulis itu menuangkan gagasannya dalam sebuah
buku. Khusus untuk buku JNC, saya dan Iwan cuma butuh 4 bab. Itu pun
terdiri dari 4 ide pokok; filosofi cinta, fakta perwujudan cinta,
bagaimana mengendalikan cinta, dan solusi akhir dari ‘masalah’ cinta.
Dan dengan catatan, cinta di sini adalah yang langsung berhubungan
dengan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Masing-masing bab
terdiri dari beberapa tulisan yang memungkinkan untuk dibahas.
Dikelompokkan dengan amat rapi, dan sedetil mungkin sehingga tidak ada
pembahasan yang terlewat. Ini memang relatif, bergantung kepada faktor
si penulis sebagai manusia dan sudut pandang yang dimilikinya selama
ini (ideologis atau tidak).
4. Pastikan dalam pembuatan outline itu terdiri dari formula standar: pemaparan fakta, pembahasan terhadap fakta, dan solusi Islam
(baik praktis maupun sistemik). Arahnya harus sudah jelas. Jika
keroyokan, maka ini kudu sering didiskusikan supaya terjaga alurnya.
Alurnya boleh detil boleh secara global saja. Tapi untuk kedua buku
kami (JJS dan JNC) yang ditulis berdua itu tidak dilakukan karena
kebetulan sudah bisa dipahami alur penulisannya. Bahkan outline yang
dibuat pun langsung fixed jadi daftar isi. Pengalaman yang agak
melelahkan sewaktu membuat buku Yes! I am MUSLIM. Itu buku tebel banget
karena saya ingin jadikan buku itu sebagai masterpiece dari
semua karya saya. Buku itu saya buat dalam waktu setahun. Lambat
banget, tapi waktu setahun itu habis untuk nyari data dan editing.
Sementara nulis mentahnya sendiri selama 1 bulan. Itu pun saya nulis
nggak tiap hari, seminggu paling 3 atau 4 hari dengan durasi maksimal 3
jam.
5. Langkah selanjutnya adalah penelusuran fakta yang akan dijadikan sebagai bahan/data penulisan.
Ini amat penting bagi sebuah buku nonfiksi. Jangankan nonfiksi, buku
fiksi saja harus jelas datanya yang akan digunakan sebagai latar cerita
tersebut. Seakurat mungkin. Sebab, kalo salah ambil fakta atau sekadar
cuap-cuap aja kan nggak mutu istilahnya. Jadi tahapan ini amat penting
dilakukan. Data-data itu bisa didapat dari berbagai sumber; digital dan
nondigital. Saya dan Iwan sejauh ini mengandalkan sourcing
data di internet. Untuk menghemat waktu, pencarian data biasanya saya
dan Iwan mempercayakan kepada seorang kawan yang memang ‘tekun’ banget
dalam penelusuran datanya. Asal diberi batasan dan spesifikasinya insya
Allah bisa berjalan. Kalo pun ada kekurangan di sana-sini, biasanya
kami langsung hunting lagi sebagai pelengkap. Tapi untuk buku
JNC, saya dan Iwan langsung memburu data sendiri. Beda dengan Jangan
Jadi Seleb, karena harus kuat di data, kami menyerahkannya kepada
seorang kawan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang kami inginkan.
Enaknya lagi, ‘perpustakaan digital’ yang dimiliki media tempat kami
bekerja (sekarang udah ‘almarhum’, yakni Majalah Permata) udah cukup
memberi kesegaran untuk membuat tulisan lebih berbobot. Catatan:
datanya terdiri dari ‘dalil aqli’ dan ‘dalil naqli’. Jadi, selain data
dari fakta di lapangan, juga data yang sifatnya untuk menguatkan
argumentasi, yakni dari al-Quran, hadits, ijma sahabat, dan juga qiyas.
Tapi yang pasti, tulisan itu kudu ideologis!
6. Setelah data
terkumpul, jika sendiri menulisnya, maka saya biasanya langsung saja
menyusun tulisan (seperti pada buku Jangan Jadi Bebek). Tapi untuk
Jangan Jadi Seleb dan Jangan Nodai Cinta, saya membagi tanggung jawab
penulisan dengan Iwan. Untuk JNC, masing-masing dua bab. Terserah aja
mau pilih yang mana. Tapi karena saya dan Iwan udah tahu karakter
tulisan masing-masing (maklum, sejak tahun 1989 bareng terus dan punya
keterampilan menulis untuk segmen remaja), maka posisi penanggung jawab
utama untuk bab-bab yang sudah dibuatkan outlinenya langsung saya
tentukan; bab 1 dan bab 3 bagian Iwan, sementara bab 2 dan bab 4 saya
yang pegang. Setelah kelar, tukar posisi dalam mengedit. Terakhir, saya
yang edit total dari semua tulisan. Termasuk pengaturan font, footnote
dan kroscek data. Melelahkan memang. Tapi alhamdulillah, hasilnya juga
lumayan. J
7. Selama penulisan, update data terbaru tetap
dilakukan. Supaya terasa hangat terus. Itu dilakukan sampe editing
akhir. Sangat boleh jadi fakta-fakta terbaru akan menggeser data yang
sudah kita buat. Tak masalah, selama memang itu memiliki nilai jual
tinggi sebagai sebuah ide.
8. Jangan lupa, tentukan deadline
penulisan. Kalo nggak, bisa jadi akan molor terus. Bukankah kita perlu
target dan itu harus terukur? Buku JJS kami patok maksimal 3 bulan
(karena sourcing datanya yang agak lama, yakni hampir 2
bulan. Sementara untuk penulisan kami membutuhkan 1 bulan). Untuk JNC
kurang lebih sama. 3 bulan adalah patokan standar kami untuk buku
nonfiksi. Bahkan kalo keroyokan lebih enak lagi. Karena kadang muncul
ide-ide segar dari teman nulis kita. Jadi lengkap kan? Meski tentunya
bukan berarti menulis sendiri tidak bagus, lho. Itu mah bergantung
kepada kreativitas penulisnya.
9. Menerbitkan buku kita. Nah,
kalo udah semua dilakukan, langkah berikutnya adalah ‘mencari’
penerbit. Modal nekat aja. Kirim ke berbagai penerbit secara berurutan
print out dari buku kita. Pokoknya pede. Harus tahu diri juga kalo kita
belum dikenal siapa pun. Ini yang lumayan lama euy. Karena biasanya
naskah ngendon di sana minimal 1 bulan. Maksimal 3 bulan. Bayangkan,
jika satu penerbit menolak, maka mulai lagi dari nol. Di penerbit
kedua, dengan waktu yang kira-kira sama. Wuih, jenuh juga kan
nunggunya? Daripada manyun, akhirnya saya suka ‘iseng’ nyari tema lain
dan siap-siap bikin buku baru. Sekadar tahu saja, buku JJB sudah mampir
di tiga penerbit. Tapi semuanya mengembalikan draft buku tersebut. Tapi
alhamdulillah semangat saya yang menggebu disambut penerbit GIP,
sekarang alhamdulillah jadi buku best seller. Tapi berbeda
jika kita kebetulan udah ‘ngetop’ prosesnya jadi lebih mudah.
Menyenangkan sekali bukan? Bahkan sangat boleh jadi kita akan diuber
beberapa penerbit yang minta naskah ke kita.

Moga-moga tips
singkat ini membuka wawasan dalam menulis buku. Tapi semua yang saya
paparkan tersebut, hanya satu yang harus tetep dijaga agar jangan sampe
padam: MOTIVASI. Tanpa itu, saya kira keinginan hanya sebatas lamunan
saja. Oke deh, jangan berhenti nulis dan tetep semangat!

Salam,



ADE.FIRMAN HARIYONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar