Dear my friends . . .
Tahukah anda kalau orang yang kelihatan begitu tegar hatinya, adalah orang yang sangat lemah Dan butuh pertolongan?
Tahukah anda kalau orang yang menghabiskan waktunya untuk melindungi orang lain adalah justru orang yang sangat butuh seseorang untuk melindunginya?
Tahukah anda kalau tiga hal yang paling sulit untuk diungkapkan adalah :
Aku cinta kamu, maaf Dan tolong aku..
Tahukah anda kalau orang yang suka berpakaian warna merah lebih yakin kepada dirinya sendiri?
Tahukah anda kalau orang yang suka berpakaian kuning adalah orang yang menikmati kecantikannya sendiri?
Tahukah anda kalau orang yang suka berpakaian hitam adalah orang yang ingin tidak diperhatikan Dan butuh bantuan Dan pengertian anda?
Tahukah anda kalau anda menolong seseorang, pertolongan tersebut dikembalikan dua kali lipat?
Tahukah anda bahwa lebih mudah mengatakan perasaan anda dalam tulisan dibandingkan mengatakan kepada seseorang secara langsung? Tapi tahukah anda bahwa hal tsb akan lebih bernilai saat anda mengatakannya dihadapan Orang tsb?
Tahukah anda kalau anda memohon sesuatu dengan keyakinan, keinginan anda tsb pasti dikabulkan?
Tahukah anda bahwa anda bisa mewujudkan impian anda, spt jatuh cinta, menjadi kaya, selalu sehat, jika anda memintanya dengan keyakinan, Dan jika anda benar2 tahu, anda akan terkejut dengan apa yang bisa anda lakukan.
Tapi jangan percaya semua yang saya katakan , sebelum anda mencobanya sendiri, jika anda tahu seseorang yang benar2 butuh sesuatu yg saya sebutkan diatas, Dan anda tahu anda bisa menolongnya, anda akan melihat bahwa pertolongan tsb akan dikembalikan dua kali lipat.
Hari ini, bola PERSAHABATAN Ada dilapangan anda, kirim ini kepada orang yang benar2 sahabat anda (termasuk saya jika saya juga sahabat). Juga, jangan merasa kecewa jika tidak Ada seseorang yang mengirimkannya kembali kepada anda, anda akan mengetahui bahwa anda akan tetap menjaga bola untuk orang lainnya ... Karena lebih baik memberi daripada menerima bukan ??? =)
Ok, inilah yang harus anda lakukan :
Kirim kepada SEMUA TEMAN anda!
Tapi anda harus MELAKUKANNYA dalam satu jam setelah membuka surat ini!
Sekarang BUAT 1 PERMINTAAN !!!
Buat sekarang, Ini kesempatan terakhir anda!!!
Saya harap anda telah membuat suatu permintaan, Sekarang kirim surat ini kepada:
1 orang : permintaan anda akan terwujud dalam satu tahun
3 orang : 6 bulan
5 orang : 3 bulan
6 orang : 1 bulan
7 orang : 2 minggu
8 orang : 1 minggu
9 orang : 5 Hari
10 orang : 3 Hari
12 orang : 2 Hari
15 orang : 1 Hari
20 orang : 3 jam
*** Jika anda hapus setelah membaca anda akan menghabiskan satu tahun tanpa keberuntungan!
Tapi, jika anda kirim kepada (paling tidak) dua teman anda akan memiliki 3 tahun penuh keberuntungan
Sabtu, 21 November 2009
Kamis, 19 November 2009
Satu hari CINTA & KAWAN berjalan dalam kampung... Tiba-tiba CINTA terjatuh dalam telaga.... Kenapa??
Kerana CINTA itu buta.. Lalu KAWAN pun ikut terjun dalam telaga... Kenapa??
Kerana... KAWAN akan buat apa sahaja demi CINTA !! Di dalam telaga CINTA hilang.... Kenapa??
Kerana... CINTA itu halus, mudah hilang kalau tak dijaga, sukar dicari apatah lagi dalam telaga yang gelap....Sedangkan KAWAN masih lagi tercari-cari dimana CINTA & terus menunggu.. Kenapa??
Kerana... KAWAN itu sejati & akan kekal sebagai KAWAN yang setia.... kan ?? so, hargai lah KAWAN kita selagi kita terasa dia BERERTI....
Walau kita punya couple, teman still paling setia..
Walau kita punya harta banyak, teman still paling berharga.
Kerana CINTA itu buta.. Lalu KAWAN pun ikut terjun dalam telaga... Kenapa??
Kerana... KAWAN akan buat apa sahaja demi CINTA !! Di dalam telaga CINTA hilang.... Kenapa??
Kerana... CINTA itu halus, mudah hilang kalau tak dijaga, sukar dicari apatah lagi dalam telaga yang gelap....Sedangkan KAWAN masih lagi tercari-cari dimana CINTA & terus menunggu.. Kenapa??
Kerana... KAWAN itu sejati & akan kekal sebagai KAWAN yang setia.... kan ?? so, hargai lah KAWAN kita selagi kita terasa dia BERERTI....
Walau kita punya couple, teman still paling setia..
Walau kita punya harta banyak, teman still paling berharga.
Kamis, 01 Oktober 2009
puisi
Udah lama ngga bikin puisi. Mungkin karena waktu merenung kian sedikit, tertelan oleh program Maple yang dari tadi belum kusentuh. Ah... kini tak ada lagi pertarungan keinginan, yang ada hanyalah penggenapan kewajiban.
Pertarungan itu kian mengganas
Menghisap udara
Memeras asa
Hingga sampai kebatas lara
Tak ada waktu untuk keluh
Karena aku menolak 'tuk merapuh
Pertarungan itu kian mengganas
Menghisap udara
Memeras asa
Hingga sampai kebatas lara
Tak ada waktu untuk keluh
Karena aku menolak 'tuk merapuh
Bahagai
"Apakah kamu bahagia?" Ya, aku memiliki keluarga yang mendukung segala hal yang kulakukan, lingkungan yang menyenangkan, orang-orang baik, teman-teman, guru-guru yang lebih sering pusing memikirkan murid'ny, daripada murud'ny sendiri, segala hal yang kupikir cukup untuk meyakinkan diriku bahwa aku orang yang bahagia. Tapi entah kenapa aku tak berhasil mengenyahkan perasaan aneh yang belakangan ini menyergapku. Kekosongan, tanpa tahu apa itu kosong. Resah, tanpa tahu kenapa. Ritme hidup tampak tak banyak berubah. Masa aku harus melakukan perjalanan aneh lainnya. Mungkin cara itu akan kulakukan pada libur semester depan, mungkin..
Ada yang salah... aku tak tahu apa. Apa lagi-lagi aku sudah terjebak dalam sebuah ritme tanpa pemaknaan. Dunia yang tampak begitu monoton. Kehidupan yang tampak itu-itu saja. Entahlah...
Ada yang salah... aku tak tahu apa. Apa lagi-lagi aku sudah terjebak dalam sebuah ritme tanpa pemaknaan. Dunia yang tampak begitu monoton. Kehidupan yang tampak itu-itu saja. Entahlah...
Tukang Dongeng
Pernahkah kau mendengar dongeng tentang ksatria dan seorang putri? Kalaupun belum, setidaknya kau tentu pernah mendengar kisah mengenai Cinderella. Kisah seorang putri baik hati yang tertindas, kemudian karena bantuan ibu peri, ia bisa bertemu pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Kau tahu kenapa kisah dongeng Cinderella menjadi cerita klasik? Kalau kuberitahu, mungkin kau akan menganggap ini sebuah dongeng baru lagi, karena kau tahu, rahasia keabadian sebuah dongeng adalah ketika kau membiarkan pikiranmu melayang-layang, berimajinasi lepas, dan membiarkan segala kemustahilan yang ada membuatmu menyunggingkan seulas senyum. Kau tidak perlu menjadi seorang ahli untuk melakukan itu, kau cukup membiarkan pikiranmu terbuka.
Hal itu pulalah yang terjadi ketika seseorang menceritakan sebuah kisah padaku. Mungkin sekarang kau tengah menebak-nebak kisah apa yang akan kusampaikan dari puluhan dongeng Hans Christian Andersen ataupun Disney, tapi kali ini aku terpaksa mengecewakanmu, karena kisah ini tidak bercerita mengenai sepasang anak yang menemukan rumah terbuat dari kue ataupun seorang putri yang terperangkap bersama sosok buruk rupa, namun kisah ini dimulai dengan sebuah teori, teori fisika.
Kau mungkin akan menganggap cerita ini membosankan. Awalnya aku juga menduga kisah ini akan membosankan. Namun ajaibnya, ketika pendongeng itu mulai mengisahkan cerita mengenai hukum Newton dan Kuantum, aku mulai larut dalam antusiasmenya. Wajahnya tampak seperti pendongeng yang mengisi masa kecilku. Raut berubah-ubah sesuai dengan alur cerita yang dibawakan, ditambah kedua tangannya yang terkadang ikut bergoyang-goyang tanpa sadar. Kau mungkin heran, mana ada dongeng seperti itu?
Mungkin kau betul, mungkin memang tak ada dongeng seperti itu. Tapi kau mungkin akan percaya jika aku katakan hal ini. Ia berkata teori Newton yang aku peroleh selama ini sebenarnya hanya sebuah pendekatan, serta tidak merefleksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Hal ini terungkap ketika ditemukannya fisika modern, terutama mengenai kuantum yang mampu menjelaskan aksi-reaksi.
Nah, sekarang kau kaget bukan? Mana yang kau percayai, ilmu yang telah kau pelajari selama bertahun-tahun dan masih diajarkan sampai sekarang, atau sebuah cerita yang disampaikan oleh orang yang baru pertama kali kau temui. Tentu saja, ketika ia menyampaikan cerita itu pada beberapa orang yang mendengarkannya dengan terkagum-kagum, ia tidak mengaku bahwa ia seorang pendongeng. Kau mungkin bisa menduga-duga sebabnya. Aku sendiri berpikir jika seseorang mengakui dirinya sebagai pendongeng, maka tak akan ada yang mempercayainya. Tidak percaya? Sungguh aku tidak mengada-ada, coba saja kau tonton sebuah dongeng klasik, pasti kata-kata pembukanya dimulai dengan pada suatu waktu, disebuah kota dan seterusnya. Tak ada yang suka mengacaukan kejutan-kejutan di tengah cerita yang mungkin kau anggap tidak masuk akal. Karena itu aku paham ketika orang yang menceritakan kisah itu tak mau mengakui identitas aslinya.
Sayangnya, kisah dongeng itu tidak berakhir sampai disana. Aku menemukan kemiripin kisahnya ketika membaca sedikit mengenai teori kuantum. Mirip.. meski tentu saja, dengan ilmuku yang sangat sedikit dan ketidaktekunanku memahami sebuah teks, aku bisa berkata bahwa bisa saja kemiripan itu dipengaruhi pikiranku yang sudah terpengaruh kisah sang pendongeng. Tapi tetap saja kemiripan itu tak bisa kuenyahkan dengan mudah. Pikiran bahwa selama ini Newton diajarkan pada murid-murid SMP dengan alasan lebih sederhana dibandingkan teori kuantum, dan cukup memadai hingga akurasi tertentu meski bukan refleksi dari keadaan sesungguhnya cukup mengganggu. Bukan dalam artian bahwa aku menolak untuk belajar berbagai teori sebagai sebuah pembelajaran, namun lebih karena ternyata apa yang aku dapatkan di bangku sekolah tak lebih dari sebuah dongeng yang kebenarannya masih bisa digugat.
Misalnya untuk menghitung massa sebuah benda, aku menggunakan suatu formulasi yang telah ditetapkan. Dan ketika aku dikonfrontasi dengan sebuah ‘kebenaran’ baru, aku tidak tahu dasar yang harus aku pakai. Persis seperti kuliah analisis riil, ketika kami harus mulai mengkonstruksi barisan bilangan dari angka nol dan satu. Lalu mana yang bisa kusebut sebagai dongeng, dan mana yang riil? Apakah kau bisa membantu, atau jangan-jangan kau menganggapku sebagai seorang pendongeng juga?!
NB: Untuk orang-orang yang suka menceritakan hal-hal sophisticated, koq mirip dongeng ya?Ternyata batasan antara dongeng dengan fakta yang disampaikan kepada seseorang berbeda maqom(intelektual, ideologi, dll) sangat tipis. Malah bisa terjadi doktrinasi berkedok ilmiah, hanya karena lawan bicaranya kalah argumen(ketimpangan ilmu).
posted by ariani at 2:53 PM
Hal itu pulalah yang terjadi ketika seseorang menceritakan sebuah kisah padaku. Mungkin sekarang kau tengah menebak-nebak kisah apa yang akan kusampaikan dari puluhan dongeng Hans Christian Andersen ataupun Disney, tapi kali ini aku terpaksa mengecewakanmu, karena kisah ini tidak bercerita mengenai sepasang anak yang menemukan rumah terbuat dari kue ataupun seorang putri yang terperangkap bersama sosok buruk rupa, namun kisah ini dimulai dengan sebuah teori, teori fisika.
Kau mungkin akan menganggap cerita ini membosankan. Awalnya aku juga menduga kisah ini akan membosankan. Namun ajaibnya, ketika pendongeng itu mulai mengisahkan cerita mengenai hukum Newton dan Kuantum, aku mulai larut dalam antusiasmenya. Wajahnya tampak seperti pendongeng yang mengisi masa kecilku. Raut berubah-ubah sesuai dengan alur cerita yang dibawakan, ditambah kedua tangannya yang terkadang ikut bergoyang-goyang tanpa sadar. Kau mungkin heran, mana ada dongeng seperti itu?
Mungkin kau betul, mungkin memang tak ada dongeng seperti itu. Tapi kau mungkin akan percaya jika aku katakan hal ini. Ia berkata teori Newton yang aku peroleh selama ini sebenarnya hanya sebuah pendekatan, serta tidak merefleksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Hal ini terungkap ketika ditemukannya fisika modern, terutama mengenai kuantum yang mampu menjelaskan aksi-reaksi.
Nah, sekarang kau kaget bukan? Mana yang kau percayai, ilmu yang telah kau pelajari selama bertahun-tahun dan masih diajarkan sampai sekarang, atau sebuah cerita yang disampaikan oleh orang yang baru pertama kali kau temui. Tentu saja, ketika ia menyampaikan cerita itu pada beberapa orang yang mendengarkannya dengan terkagum-kagum, ia tidak mengaku bahwa ia seorang pendongeng. Kau mungkin bisa menduga-duga sebabnya. Aku sendiri berpikir jika seseorang mengakui dirinya sebagai pendongeng, maka tak akan ada yang mempercayainya. Tidak percaya? Sungguh aku tidak mengada-ada, coba saja kau tonton sebuah dongeng klasik, pasti kata-kata pembukanya dimulai dengan pada suatu waktu, disebuah kota dan seterusnya. Tak ada yang suka mengacaukan kejutan-kejutan di tengah cerita yang mungkin kau anggap tidak masuk akal. Karena itu aku paham ketika orang yang menceritakan kisah itu tak mau mengakui identitas aslinya.
Sayangnya, kisah dongeng itu tidak berakhir sampai disana. Aku menemukan kemiripin kisahnya ketika membaca sedikit mengenai teori kuantum. Mirip.. meski tentu saja, dengan ilmuku yang sangat sedikit dan ketidaktekunanku memahami sebuah teks, aku bisa berkata bahwa bisa saja kemiripan itu dipengaruhi pikiranku yang sudah terpengaruh kisah sang pendongeng. Tapi tetap saja kemiripan itu tak bisa kuenyahkan dengan mudah. Pikiran bahwa selama ini Newton diajarkan pada murid-murid SMP dengan alasan lebih sederhana dibandingkan teori kuantum, dan cukup memadai hingga akurasi tertentu meski bukan refleksi dari keadaan sesungguhnya cukup mengganggu. Bukan dalam artian bahwa aku menolak untuk belajar berbagai teori sebagai sebuah pembelajaran, namun lebih karena ternyata apa yang aku dapatkan di bangku sekolah tak lebih dari sebuah dongeng yang kebenarannya masih bisa digugat.
Misalnya untuk menghitung massa sebuah benda, aku menggunakan suatu formulasi yang telah ditetapkan. Dan ketika aku dikonfrontasi dengan sebuah ‘kebenaran’ baru, aku tidak tahu dasar yang harus aku pakai. Persis seperti kuliah analisis riil, ketika kami harus mulai mengkonstruksi barisan bilangan dari angka nol dan satu. Lalu mana yang bisa kusebut sebagai dongeng, dan mana yang riil? Apakah kau bisa membantu, atau jangan-jangan kau menganggapku sebagai seorang pendongeng juga?!
NB: Untuk orang-orang yang suka menceritakan hal-hal sophisticated, koq mirip dongeng ya?Ternyata batasan antara dongeng dengan fakta yang disampaikan kepada seseorang berbeda maqom(intelektual, ideologi, dll) sangat tipis. Malah bisa terjadi doktrinasi berkedok ilmiah, hanya karena lawan bicaranya kalah argumen(ketimpangan ilmu).
posted by ariani at 2:53 PM
Harapan, Kesadaran, dan Cita-cita
Kotak itu aneh. Keindahan dan keburukkan pada saat yang bersamaan. Kegelapan sekaligus cahaya, baik dan buruk. Hal-hal bertentangan yang dapat dirasakan hanya dengan mendekati kotak itu. Pandora teringat pesan untuk tidak membuka kotak itu. Ia biasa untuk patuh, tapi untuk kali ini semacam ada kekuatan lain diluar dirinya yang menyuruhnya untuk membuka kotak. Perasaan tidak tertahan, yang ia sendiri heran dari mana datangnya. Dengan perlahan disentuhnya kotak itu. Perasaan bersalah menjalar keseluruh tubuhnya, disaat yang sama ia juga merasakan gairah yang tak tertahankan. Perlahan namun pasti dibukanya tutup kotak itu. Dari balik tutup melesatlah cahaya-cahaya dengan berbagai bentuk yang belum pernah disaksikan Pandora. Keindahan, yang herannya malah membuat Pandora merinding karena takut. Perasaan itu sedikit teredam setelah kemunculan cahaya terakhir, kalau masih bisa disebut demikian, karena meski ia juga berpendar, sinarnya temaram.
Apa yang telah kulakukan, pikir Pandora takut. Cahaya-cahaya itu melesat kesegala penjuru bumi seperti kembang api. Sejak saat itu kehidupan manusia tidak pernah sama lagi. Keindahan cahaya yang mereka lihat membuat manusia seolah bangun dari sebuah tidur panjang. Kehidupan yang bagai lukisan, dari satu frasa ke frasa yang terjadi secara berulang-ulang, terus-menerus seolah tak ada ujung. Cahaya itu menyadarkan mereka akan sesuatu yang lebih, tentang persaingan, emosi dan juga keinginan-keinginan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Iri, marah, obsesi, membuat tatanan hidup mereka menjadi dinamis sekaligus kacau. Pandora hanya bisa berharap pada cahaya yang terakhir, yang ia sebut sebagai cahaya harapan. Bentuknya memang tak seindah cahaya-cahaya lain, namun dengan bentuknya itu ia berharap manusia dapat menemukan kesejatian dibalik penampilan fisik.
Saya sering bertanya-tanya kenapa dongeng Yunani tersebut hanya menyisakan satu buah kebaikan, yaitu harapan. Belakangan saya mengartikan segala hal yang disebut kejahatan dalam kisah Pandora tak sepenuhnya buruk, hanya salah penggunaan saja. Emosi yang hadir dalam kemarahan, atau ambisi jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bisa membuahkan hasil yang menakjubkan, melebihi segala hal yang dilakukan dalam kerangka rutinitas. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk unik, karena melakukan segala sesuatunya dalam koridor kesadaran, dan alasan itu yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukannya.
Saya sering berpikir-pikir, apa harapan saya yang terbesar? Pertanyaan yang belakangan ini mulai saya pikirkan dengan baik-baik, karena berapa tahun belakangan ini saya membiarkan hidup mengalir bagaikan air. Tanpa tahu hendak mengarah kemana, ataupun melalui apa saja. Dengan konsep menerima segala hal, dan berpikiran positif, saya pikir tak ada salahnya. Apalagi dengan cara itu, saya tidak akan tertimpa apa yang namanya stress, frustasi, atau hal-hal yang disebabkan kecewa akibat target yang tidak tercapai. Pandangan itu saya dasari dari prinsip kemerdekaan tertinggi, saat saya bisa bebas dari segala keinginan. Tapi kemudiaan, di penghujung tingkat 4 yang normalnya menjadi akhir dari status saya sebagai mahasiswa, saya mulai mempertimbangkan kembali jalan hidup yang hendak saya pilih. Saya susuri lagi jalan kenangan sampai menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan cita-cita.
Dalam jalan kenangan itu, saya terakhir memiliki cita-cita ketika duduk di bangku SMP. Saya tidak yakin apa yang menyebabkan cita-cita terputus begitu saja. Saya seringkali mencari jawaban pada orang-orang yang dekat saya. Ketika saya bertanya pada ibu apa cita-cita beliau, jawabannya dari dulu masih sama, “Menjadi pemenang Nobel.” Karena sosok ibu merupakan orang yang paling dekat dengan kehidupan saya, maka waktu kecil saya juga bercita-cita menjadi pemenang Nobel. Perlahan, cita-cita itu bergeser kesana kemari sesuai tren. Tapi seingat saya, tak pernah ada profesi spesifik. Hanya sebuah keberhasilan tanpa profesi tertentu ataupun keadaan sehari-hari ketika besar nanti. Salah satu yang paling sering terlontar adalah menjadi seorang peneliti yang bisa keliling dunia. Mungkin ini juga terpengaruh oleh ibu saya, yang meski jalurnya sudah jauh dari peneliti, namun keingintahuannya masih sangat besar. Dan karena telah menyandang predikat ibu, kecintaannya pada ilmu pengetahuan disalurkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk membaca.
Ketika, zaman-zaman SD-SMP, ibu membeli beberapa jenis ensiklopedi. Bahkan ada beberapa buku terbitan Life yang tertera tahun 1982, bahkan sebelum saya lahir(dan kakak baru lahir). Ketika saya tanya, apakah ibu sudah sempat membaca semuanya, ibu saya menjawab belum, maksud belinya juga agar dibaca oleh anak-anak, ya salah satunya saya ini:D. Meski begitu, baru belakangan saja saya membuka koleksi ensiklopedi, sebelumnya saya tenggelam dalam kisah-kisah Enid Blyton mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Elizabeth Jadi Pengawas, Malory Towers, St. Claire, Sirkus Pak Galiano, Noddy, hingga buku saku. Cerita-cerita itu mengajarkan saya banyak hal, tentang kejujuran, keadilan, saling menghormati serta juga hidup penuh petualangan.
Karena dibesarkan dengan kisah-kisah seperti itu, cita-cita saya juga berada dalam kondisi ideal seperti negara-negara Eropa. Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang peneliti di universitas(namun bukan menjadi dosen). Hidup tenang, dengan jam kerja yang masih memungkinkan untuk mengurusi segala urusan keluarga dan waktu luang di akhir minggu. Namun bayangan tersebut seolah menemukan titik baliknya ketika SMP. Berita-berita mengenai kondisi dalam negeri seolah menghantam saya ke dalam jurang. Kondisi ideal yang saya bayangkan terasa sangat egois. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan apa yang saya inginkan, sementara banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan sebagaimana yang saya miliki. Keadaan ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Berbagai pemikiran mendera kepala saya. Ditambah keadaan yang cukup memadai untuk membaca dua koran per hari, saya berubah menjadi sosok yang gelisah.
Seingat saya saat itulah saya kehilangan cita-cita sebagai seorang peneliti. Bahkan jalur IPA yang sudah saya yakini sejak lama, tiba-tiba goyah menjadi jurusan komunikasi massa, ataupun FISIP. Meski pada akhirnya saya memilih jalur IPA sebagaimana yang telah saya bayangkan sejak kecil, namun saya tidak tahu apakah saya masih orang yang sama seperti dulu. Bahkan kini saya mulai berpikir apakah saya masih dalam keadaan sadar atau tidak. Membiarkan hidup dikendalikan oleh segala hal yang berasal dari luar. Meski dengan keyakinan adanya petunjuk, saya merasa tak ada salahnya juga hidup dalam keadaan seperti itu, memiliki fungsi sosial, mengikuti sebuah jalur formal, serta senantiasa berpikiran positif.
Tapi sekarang, saya memilih untuk merebut kembali kesadaran saya, dan saya harap saya bisa menemukan diri saya kembali. Baru-baru ini saya kembali memiliki cita-cita: menjadi penulis cerita anak-anak. Saya terinspirasi oleh kisah-kisah Enid Blyton yang mengajarkan kerja keras kejujuran serta pantang menyerah lewat tokoh-tokoh George, Dick, Julian, Anne serta Timmy. Belakangan ini saya kembali membaca buku cerita, salah satunya karangan Kate de Castillo yang baru saya sadari untuk anak-anak ketika pada halaman terakhir ada formulir untuk mengikuti Gramedia Junior. Bersih dari kisah cinta muda-mudi, ataupun prasangka, paling-paling sedikit kenakalan dan ide cerdas yang cukup merepotkan, seperti sebuah tanah liat yang belum dibentuk. Sekadar buat penyemangat, Lewis Caroll seorang matematikawan, juga menjadi penulis anak-anak Alice in Wonderland.
NB: kepada Sang Maha yang memberikan keluarga dengan kasih tanpa batas dan syarat, semoga Kau berkenan melimpahi mereka dengan kasih-Mu, sebagaimana yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini.
Apa yang telah kulakukan, pikir Pandora takut. Cahaya-cahaya itu melesat kesegala penjuru bumi seperti kembang api. Sejak saat itu kehidupan manusia tidak pernah sama lagi. Keindahan cahaya yang mereka lihat membuat manusia seolah bangun dari sebuah tidur panjang. Kehidupan yang bagai lukisan, dari satu frasa ke frasa yang terjadi secara berulang-ulang, terus-menerus seolah tak ada ujung. Cahaya itu menyadarkan mereka akan sesuatu yang lebih, tentang persaingan, emosi dan juga keinginan-keinginan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Iri, marah, obsesi, membuat tatanan hidup mereka menjadi dinamis sekaligus kacau. Pandora hanya bisa berharap pada cahaya yang terakhir, yang ia sebut sebagai cahaya harapan. Bentuknya memang tak seindah cahaya-cahaya lain, namun dengan bentuknya itu ia berharap manusia dapat menemukan kesejatian dibalik penampilan fisik.
Saya sering bertanya-tanya kenapa dongeng Yunani tersebut hanya menyisakan satu buah kebaikan, yaitu harapan. Belakangan saya mengartikan segala hal yang disebut kejahatan dalam kisah Pandora tak sepenuhnya buruk, hanya salah penggunaan saja. Emosi yang hadir dalam kemarahan, atau ambisi jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bisa membuahkan hasil yang menakjubkan, melebihi segala hal yang dilakukan dalam kerangka rutinitas. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk unik, karena melakukan segala sesuatunya dalam koridor kesadaran, dan alasan itu yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukannya.
Saya sering berpikir-pikir, apa harapan saya yang terbesar? Pertanyaan yang belakangan ini mulai saya pikirkan dengan baik-baik, karena berapa tahun belakangan ini saya membiarkan hidup mengalir bagaikan air. Tanpa tahu hendak mengarah kemana, ataupun melalui apa saja. Dengan konsep menerima segala hal, dan berpikiran positif, saya pikir tak ada salahnya. Apalagi dengan cara itu, saya tidak akan tertimpa apa yang namanya stress, frustasi, atau hal-hal yang disebabkan kecewa akibat target yang tidak tercapai. Pandangan itu saya dasari dari prinsip kemerdekaan tertinggi, saat saya bisa bebas dari segala keinginan. Tapi kemudiaan, di penghujung tingkat 4 yang normalnya menjadi akhir dari status saya sebagai mahasiswa, saya mulai mempertimbangkan kembali jalan hidup yang hendak saya pilih. Saya susuri lagi jalan kenangan sampai menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan cita-cita.
Dalam jalan kenangan itu, saya terakhir memiliki cita-cita ketika duduk di bangku SMP. Saya tidak yakin apa yang menyebabkan cita-cita terputus begitu saja. Saya seringkali mencari jawaban pada orang-orang yang dekat saya. Ketika saya bertanya pada ibu apa cita-cita beliau, jawabannya dari dulu masih sama, “Menjadi pemenang Nobel.” Karena sosok ibu merupakan orang yang paling dekat dengan kehidupan saya, maka waktu kecil saya juga bercita-cita menjadi pemenang Nobel. Perlahan, cita-cita itu bergeser kesana kemari sesuai tren. Tapi seingat saya, tak pernah ada profesi spesifik. Hanya sebuah keberhasilan tanpa profesi tertentu ataupun keadaan sehari-hari ketika besar nanti. Salah satu yang paling sering terlontar adalah menjadi seorang peneliti yang bisa keliling dunia. Mungkin ini juga terpengaruh oleh ibu saya, yang meski jalurnya sudah jauh dari peneliti, namun keingintahuannya masih sangat besar. Dan karena telah menyandang predikat ibu, kecintaannya pada ilmu pengetahuan disalurkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk membaca.
Ketika, zaman-zaman SD-SMP, ibu membeli beberapa jenis ensiklopedi. Bahkan ada beberapa buku terbitan Life yang tertera tahun 1982, bahkan sebelum saya lahir(dan kakak baru lahir). Ketika saya tanya, apakah ibu sudah sempat membaca semuanya, ibu saya menjawab belum, maksud belinya juga agar dibaca oleh anak-anak, ya salah satunya saya ini:D. Meski begitu, baru belakangan saja saya membuka koleksi ensiklopedi, sebelumnya saya tenggelam dalam kisah-kisah Enid Blyton mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Elizabeth Jadi Pengawas, Malory Towers, St. Claire, Sirkus Pak Galiano, Noddy, hingga buku saku. Cerita-cerita itu mengajarkan saya banyak hal, tentang kejujuran, keadilan, saling menghormati serta juga hidup penuh petualangan.
Karena dibesarkan dengan kisah-kisah seperti itu, cita-cita saya juga berada dalam kondisi ideal seperti negara-negara Eropa. Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang peneliti di universitas(namun bukan menjadi dosen). Hidup tenang, dengan jam kerja yang masih memungkinkan untuk mengurusi segala urusan keluarga dan waktu luang di akhir minggu. Namun bayangan tersebut seolah menemukan titik baliknya ketika SMP. Berita-berita mengenai kondisi dalam negeri seolah menghantam saya ke dalam jurang. Kondisi ideal yang saya bayangkan terasa sangat egois. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan apa yang saya inginkan, sementara banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan sebagaimana yang saya miliki. Keadaan ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Berbagai pemikiran mendera kepala saya. Ditambah keadaan yang cukup memadai untuk membaca dua koran per hari, saya berubah menjadi sosok yang gelisah.
Seingat saya saat itulah saya kehilangan cita-cita sebagai seorang peneliti. Bahkan jalur IPA yang sudah saya yakini sejak lama, tiba-tiba goyah menjadi jurusan komunikasi massa, ataupun FISIP. Meski pada akhirnya saya memilih jalur IPA sebagaimana yang telah saya bayangkan sejak kecil, namun saya tidak tahu apakah saya masih orang yang sama seperti dulu. Bahkan kini saya mulai berpikir apakah saya masih dalam keadaan sadar atau tidak. Membiarkan hidup dikendalikan oleh segala hal yang berasal dari luar. Meski dengan keyakinan adanya petunjuk, saya merasa tak ada salahnya juga hidup dalam keadaan seperti itu, memiliki fungsi sosial, mengikuti sebuah jalur formal, serta senantiasa berpikiran positif.
Tapi sekarang, saya memilih untuk merebut kembali kesadaran saya, dan saya harap saya bisa menemukan diri saya kembali. Baru-baru ini saya kembali memiliki cita-cita: menjadi penulis cerita anak-anak. Saya terinspirasi oleh kisah-kisah Enid Blyton yang mengajarkan kerja keras kejujuran serta pantang menyerah lewat tokoh-tokoh George, Dick, Julian, Anne serta Timmy. Belakangan ini saya kembali membaca buku cerita, salah satunya karangan Kate de Castillo yang baru saya sadari untuk anak-anak ketika pada halaman terakhir ada formulir untuk mengikuti Gramedia Junior. Bersih dari kisah cinta muda-mudi, ataupun prasangka, paling-paling sedikit kenakalan dan ide cerdas yang cukup merepotkan, seperti sebuah tanah liat yang belum dibentuk. Sekadar buat penyemangat, Lewis Caroll seorang matematikawan, juga menjadi penulis anak-anak Alice in Wonderland.
NB: kepada Sang Maha yang memberikan keluarga dengan kasih tanpa batas dan syarat, semoga Kau berkenan melimpahi mereka dengan kasih-Mu, sebagaimana yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini.
patah Hati
Belum juga kutemukan arti cinta
Mungkinkah ini anti-tesisnya?
Dunia jingga kini kelabu
Kehangatan hanya menyisakan beku
Gawat, mayday-mayday, SOS...
Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba gelisah ngga jelas, terus di kompie terdengar lagu-lagu dari kelompok Century of Love vol.2. Apa aku lagi patah hati ya? Gila, ngga jelas gini. Lagian bisa-bisanya patah hati, suka sama siapa juga ngga tau. Apa gara-gara nonton film tentang pangeran dengan kuda coklat ya? Hua.. kayanya aku benar-benar harus menyeleksi jenis tontonan biar pikiran masih bisa kukontrol.
Aku abis baca bagian depan buku Virus Akalbudi(terjemahannya ga asyik, judul aslinya Virus of the Mind). Pengarangnya mantan orang Microsoft, Richard Brodie. Beberapa tahun lalu, aku udah pernah diceritaian mengenai memetika yang menghubungkan ilmu fisika, psikologi dan biologi, tapi baru sekarang aku nemu bukunya. Sering banget kejadian seperti itu, tertarik pada sesuatu beberapa tahunan silam, tapi baru nemu jawabannya setelah udah nyaris lupa dengan masalahnya.
Lalu apa hubungannya meme dengan patah hati? Hehe.. yang aku tangkep, meme itu sepeti bagian non-pyshic dari gen. Kalau di bio ada gen yang mempengaruhi bawaan seseorang seperti: warna rambut, mata, tinggi badan, penyakit, agresivitas dll, kalau dalam mind ada yang disebut dengan meme. Dalam buku itu, disarankan untuk memahami meme agar kita tahu, hal-hal yang kita lakukan, ngga sepenuhnya bisa dikendalikan oleh diri sendiri.
Nah, sekarang aku akan menganalisis diriku sendiri. Ada perasaan aneh yang ngga bisa kudefinisikan, dan berkaitan dengan seseorang. Menurut orang-orang yang kutanyai itu ada hubungannya dengan cinta. Karena aku ngga tahu, aku ikuti saja pendapat orang-orang, bahwa aku memang sedang bermasalah dengan yang namanya virus merah jambu itu. Menurut buku terbitan KPG itu, ketika aku sudah menerima pendapat orang-orang maka aku sudah terpengaruh meme dari orang lain. Biar jelas, aku culik aja definisi meme yang ada di buku Brodie: Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akal budi yang keberadaannya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akalbudi orang lain.[Brodie, Virus Akal Budi, h.28]
Dari definisi itu, kondisiku memang belum tentu patah hati, karena itu hanya pendekatan orang-orang terhadap keadaan yang kuceritakan. Tapi masalahnya malah jadi lebih rumit, karena ketika aku bilang patah hati, artinya aku sudah main bahasa. Seperti ketika membangun sebuah basis dalam aljabar. Untuk menentukan anggota kelompoknya, masing-masing elemen diperiksa, apakah bebas linier dan membangun atau tidak. Kalau sudah memenuhi syarat, maka ia bisa menjadi anggota basis tertentu. Semuanya hanya masalah konsep yang dibangun. Dalam kasusku ada dua kemungkinan, terjadi galat akibat penafsiran seseorang akan ceritaku. Hal ini terjadi karena tiap orang memiliki latarbelakngnya masing-masing(dalam ilmu sosial, sulit untuk melakukan pengelompokkan karena sifat manusia sangat kompleks). Kemungkinan kedua, memang tak ada definisi baku mengenai patah hati. Dengan kata lain tak ada yang bisa memvalidasi, aku sedang patah hati atau ngga.
Menurut Whitehead, yang kata-katanya dikutip di bab pertama, “Tak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah separo kebenaran.” Rumus-rumus atau apapun yang ada sekarang merupakan pendekatan akan kebenaran, alias konsep-konsep yang dibangun. Setahuku pendekatan ini kental setelah adanya fisika modern, yang banyak menawarkan konsep ketidakpastian, pengaruh pengamat, dll. Gara-gara ini, mungkin pendekatannya jadi rada positivis. Selama sebuah konsep/formula berguna dan cocok untuk mengerjakan beberapa penyelesaian, maka konsep itu akan terus digunakan.
Dengan pendekatan positivis, setiap permasalahan harus dianalisis agar bisa dipecahkan dengan konsep yang cocok. Seperti ketika menerapkan metode numerik tertentu dalam masalah optimasi. Numeriknya saja sudah merupakan pendekatan dari solusi eksak, apalagi kalau salah mengenali permasalahan, errornya bisa semakin besar. Tapi kalau dalam hal-hal non-eksak, apakah mengenali permasalahan membantu banyak ya?
Misalnya aku tahu aku tengah patah hati, trus apa? Apalagi tak ada yang bisa menjamin aku memang benar-benar dalam kondisi itu. Misalkan aku terima meme dari orang-orang yang ada disekelilingku bahwa aku patah hati, maka lambat laun aku akan percaya bahwa aku memang sedang patah hati. Kemudian karena aku sudah menerima patah hati sebagai keadaan yang menimpa diriku, meski belum tentu benar, selanjutnya aku juga akan menerima meme-meme dari orang lain yang menyangkut: betapa menyedihkannya orang yang patah hati dsb-dsb.
Kalau kupikir-pikir, lebih baik aku biarkan perasaan aneh itu di dalam hati. Malah semakin tidak dipikirkan lebih cepat perasaan itu hilang. Seperti penularan virus flu, untuk menghindar dari penyakit itu yang harus dilakukan adalah memperkuat kekebalan tubuh. Begitu juga dengan virus akalbudi, cara menghindarinya adalah dengan memperkuat keyakinan diri sendiri, dan tidak termakan omongan orang.
Apakah meme pasti jelek? Ngga juga sih, pendapat orang pasti ada bagusnya juga. Tapi untuk masalah-masalah perasaan, kayanya emang rada berbahaya. Lagian karakternya mirip api yang semakin dikipas-kipas(baca: makin banyak orang tau), bakal makin berkobar, jadi kayanya mending diem-diem aja. Sekarang aja aku tulis karena ngga punya objek lain. Terpaksa aku sendiri yang jadi kelincinya(sambil berdoa semoga si kelinci ngga kenapa-napa setelah melakukan analisis terhadap dirinya sendiri).
Catatan kecil:
* Wacana meme masih terbilang baru bagiku, jadi aku ngga yakin penafsiranku atas apa yang kubaca sudah tepat atau belum. Beberapa analogi yang mungkin membantu: komputer analog dengan manusia, hardware dengan gen, dan software dengan meme. Dari penjelasan yang diberikan oleh Plotkin(seorang psikolog): meme merupakan cerminan pengetahuan yang tersimpan di dalam akalbudi kita. Aku mengartikan kata-kata tersebut sebagai sebuah naluri dasar. Dalam psikologi, naluri itu dibagi menjadi empat: figthing, fleeing, feeding, finding a mate. Keempat naluri itu ada kaitannya dengan meme, tapi aku tidak yakin bagaimana...(masih harus banyak baca lagi).
* Sebagaimana virus pada manusia, maupun komputer, virus akalbudi pun tidak dapat dikendalikan. Hinggap pada inang, kemudian menggunakan alat-alat pada tubuh inangnya untuk menduplikasi sifat-sifat si virus sehingga sifat si virus akan terdapat pada keturunan inang.
* Mengenai perilaku manusia, 88% dipengaruhi kondisi bawah sadar. Jadi meski setengah mati nyangkal bahwa aku dalam kondisi baik-baik aja, aku ngga tahu alam bawah sadarku sependapat atau ngga.
* Aku lagi mencoba memrogram diriku agar menjadi rada ilmiah. Makanya lagi senang membaca teks-teks yang ditulis oleh orang sains. Apa yang aku baca di buku Brodie, mengingatkan aku pada website edge.org. Salah satu alasannya adalah karena sama-sama diilhami oleh pandangan evolusionis.
Mungkinkah ini anti-tesisnya?
Dunia jingga kini kelabu
Kehangatan hanya menyisakan beku
Gawat, mayday-mayday, SOS...
Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba gelisah ngga jelas, terus di kompie terdengar lagu-lagu dari kelompok Century of Love vol.2. Apa aku lagi patah hati ya? Gila, ngga jelas gini. Lagian bisa-bisanya patah hati, suka sama siapa juga ngga tau. Apa gara-gara nonton film tentang pangeran dengan kuda coklat ya? Hua.. kayanya aku benar-benar harus menyeleksi jenis tontonan biar pikiran masih bisa kukontrol.
Aku abis baca bagian depan buku Virus Akalbudi(terjemahannya ga asyik, judul aslinya Virus of the Mind). Pengarangnya mantan orang Microsoft, Richard Brodie. Beberapa tahun lalu, aku udah pernah diceritaian mengenai memetika yang menghubungkan ilmu fisika, psikologi dan biologi, tapi baru sekarang aku nemu bukunya. Sering banget kejadian seperti itu, tertarik pada sesuatu beberapa tahunan silam, tapi baru nemu jawabannya setelah udah nyaris lupa dengan masalahnya.
Lalu apa hubungannya meme dengan patah hati? Hehe.. yang aku tangkep, meme itu sepeti bagian non-pyshic dari gen. Kalau di bio ada gen yang mempengaruhi bawaan seseorang seperti: warna rambut, mata, tinggi badan, penyakit, agresivitas dll, kalau dalam mind ada yang disebut dengan meme. Dalam buku itu, disarankan untuk memahami meme agar kita tahu, hal-hal yang kita lakukan, ngga sepenuhnya bisa dikendalikan oleh diri sendiri.
Nah, sekarang aku akan menganalisis diriku sendiri. Ada perasaan aneh yang ngga bisa kudefinisikan, dan berkaitan dengan seseorang. Menurut orang-orang yang kutanyai itu ada hubungannya dengan cinta. Karena aku ngga tahu, aku ikuti saja pendapat orang-orang, bahwa aku memang sedang bermasalah dengan yang namanya virus merah jambu itu. Menurut buku terbitan KPG itu, ketika aku sudah menerima pendapat orang-orang maka aku sudah terpengaruh meme dari orang lain. Biar jelas, aku culik aja definisi meme yang ada di buku Brodie: Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akal budi yang keberadaannya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akalbudi orang lain.[Brodie, Virus Akal Budi, h.28]
Dari definisi itu, kondisiku memang belum tentu patah hati, karena itu hanya pendekatan orang-orang terhadap keadaan yang kuceritakan. Tapi masalahnya malah jadi lebih rumit, karena ketika aku bilang patah hati, artinya aku sudah main bahasa. Seperti ketika membangun sebuah basis dalam aljabar. Untuk menentukan anggota kelompoknya, masing-masing elemen diperiksa, apakah bebas linier dan membangun atau tidak. Kalau sudah memenuhi syarat, maka ia bisa menjadi anggota basis tertentu. Semuanya hanya masalah konsep yang dibangun. Dalam kasusku ada dua kemungkinan, terjadi galat akibat penafsiran seseorang akan ceritaku. Hal ini terjadi karena tiap orang memiliki latarbelakngnya masing-masing(dalam ilmu sosial, sulit untuk melakukan pengelompokkan karena sifat manusia sangat kompleks). Kemungkinan kedua, memang tak ada definisi baku mengenai patah hati. Dengan kata lain tak ada yang bisa memvalidasi, aku sedang patah hati atau ngga.
Menurut Whitehead, yang kata-katanya dikutip di bab pertama, “Tak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah separo kebenaran.” Rumus-rumus atau apapun yang ada sekarang merupakan pendekatan akan kebenaran, alias konsep-konsep yang dibangun. Setahuku pendekatan ini kental setelah adanya fisika modern, yang banyak menawarkan konsep ketidakpastian, pengaruh pengamat, dll. Gara-gara ini, mungkin pendekatannya jadi rada positivis. Selama sebuah konsep/formula berguna dan cocok untuk mengerjakan beberapa penyelesaian, maka konsep itu akan terus digunakan.
Dengan pendekatan positivis, setiap permasalahan harus dianalisis agar bisa dipecahkan dengan konsep yang cocok. Seperti ketika menerapkan metode numerik tertentu dalam masalah optimasi. Numeriknya saja sudah merupakan pendekatan dari solusi eksak, apalagi kalau salah mengenali permasalahan, errornya bisa semakin besar. Tapi kalau dalam hal-hal non-eksak, apakah mengenali permasalahan membantu banyak ya?
Misalnya aku tahu aku tengah patah hati, trus apa? Apalagi tak ada yang bisa menjamin aku memang benar-benar dalam kondisi itu. Misalkan aku terima meme dari orang-orang yang ada disekelilingku bahwa aku patah hati, maka lambat laun aku akan percaya bahwa aku memang sedang patah hati. Kemudian karena aku sudah menerima patah hati sebagai keadaan yang menimpa diriku, meski belum tentu benar, selanjutnya aku juga akan menerima meme-meme dari orang lain yang menyangkut: betapa menyedihkannya orang yang patah hati dsb-dsb.
Kalau kupikir-pikir, lebih baik aku biarkan perasaan aneh itu di dalam hati. Malah semakin tidak dipikirkan lebih cepat perasaan itu hilang. Seperti penularan virus flu, untuk menghindar dari penyakit itu yang harus dilakukan adalah memperkuat kekebalan tubuh. Begitu juga dengan virus akalbudi, cara menghindarinya adalah dengan memperkuat keyakinan diri sendiri, dan tidak termakan omongan orang.
Apakah meme pasti jelek? Ngga juga sih, pendapat orang pasti ada bagusnya juga. Tapi untuk masalah-masalah perasaan, kayanya emang rada berbahaya. Lagian karakternya mirip api yang semakin dikipas-kipas(baca: makin banyak orang tau), bakal makin berkobar, jadi kayanya mending diem-diem aja. Sekarang aja aku tulis karena ngga punya objek lain. Terpaksa aku sendiri yang jadi kelincinya(sambil berdoa semoga si kelinci ngga kenapa-napa setelah melakukan analisis terhadap dirinya sendiri).
Catatan kecil:
* Wacana meme masih terbilang baru bagiku, jadi aku ngga yakin penafsiranku atas apa yang kubaca sudah tepat atau belum. Beberapa analogi yang mungkin membantu: komputer analog dengan manusia, hardware dengan gen, dan software dengan meme. Dari penjelasan yang diberikan oleh Plotkin(seorang psikolog): meme merupakan cerminan pengetahuan yang tersimpan di dalam akalbudi kita. Aku mengartikan kata-kata tersebut sebagai sebuah naluri dasar. Dalam psikologi, naluri itu dibagi menjadi empat: figthing, fleeing, feeding, finding a mate. Keempat naluri itu ada kaitannya dengan meme, tapi aku tidak yakin bagaimana...(masih harus banyak baca lagi).
* Sebagaimana virus pada manusia, maupun komputer, virus akalbudi pun tidak dapat dikendalikan. Hinggap pada inang, kemudian menggunakan alat-alat pada tubuh inangnya untuk menduplikasi sifat-sifat si virus sehingga sifat si virus akan terdapat pada keturunan inang.
* Mengenai perilaku manusia, 88% dipengaruhi kondisi bawah sadar. Jadi meski setengah mati nyangkal bahwa aku dalam kondisi baik-baik aja, aku ngga tahu alam bawah sadarku sependapat atau ngga.
* Aku lagi mencoba memrogram diriku agar menjadi rada ilmiah. Makanya lagi senang membaca teks-teks yang ditulis oleh orang sains. Apa yang aku baca di buku Brodie, mengingatkan aku pada website edge.org. Salah satu alasannya adalah karena sama-sama diilhami oleh pandangan evolusionis.
Langganan:
Postingan (Atom)