Kamis, 01 Oktober 2009

puisi

Udah lama ngga bikin puisi. Mungkin karena waktu merenung kian sedikit, tertelan oleh program Maple yang dari tadi belum kusentuh. Ah... kini tak ada lagi pertarungan keinginan, yang ada hanyalah penggenapan kewajiban.

Pertarungan itu kian mengganas
Menghisap udara
Memeras asa
Hingga sampai kebatas lara
Tak ada waktu untuk keluh
Karena aku menolak 'tuk merapuh

Bahagai

"Apakah kamu bahagia?" Ya, aku memiliki keluarga yang mendukung segala hal yang kulakukan, lingkungan yang menyenangkan, orang-orang baik, teman-teman, guru-guru yang lebih sering pusing memikirkan murid'ny, daripada murud'ny sendiri, segala hal yang kupikir cukup untuk meyakinkan diriku bahwa aku orang yang bahagia. Tapi entah kenapa aku tak berhasil mengenyahkan perasaan aneh yang belakangan ini menyergapku. Kekosongan, tanpa tahu apa itu kosong. Resah, tanpa tahu kenapa. Ritme hidup tampak tak banyak berubah. Masa aku harus melakukan perjalanan aneh lainnya. Mungkin cara itu akan kulakukan pada libur semester depan, mungkin..

Ada yang salah... aku tak tahu apa. Apa lagi-lagi aku sudah terjebak dalam sebuah ritme tanpa pemaknaan. Dunia yang tampak begitu monoton. Kehidupan yang tampak itu-itu saja. Entahlah...

Tukang Dongeng

Pernahkah kau mendengar dongeng tentang ksatria dan seorang putri? Kalaupun belum, setidaknya kau tentu pernah mendengar kisah mengenai Cinderella. Kisah seorang putri baik hati yang tertindas, kemudian karena bantuan ibu peri, ia bisa bertemu pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Kau tahu kenapa kisah dongeng Cinderella menjadi cerita klasik? Kalau kuberitahu, mungkin kau akan menganggap ini sebuah dongeng baru lagi, karena kau tahu, rahasia keabadian sebuah dongeng adalah ketika kau membiarkan pikiranmu melayang-layang, berimajinasi lepas, dan membiarkan segala kemustahilan yang ada membuatmu menyunggingkan seulas senyum. Kau tidak perlu menjadi seorang ahli untuk melakukan itu, kau cukup membiarkan pikiranmu terbuka.

Hal itu pulalah yang terjadi ketika seseorang menceritakan sebuah kisah padaku. Mungkin sekarang kau tengah menebak-nebak kisah apa yang akan kusampaikan dari puluhan dongeng Hans Christian Andersen ataupun Disney, tapi kali ini aku terpaksa mengecewakanmu, karena kisah ini tidak bercerita mengenai sepasang anak yang menemukan rumah terbuat dari kue ataupun seorang putri yang terperangkap bersama sosok buruk rupa, namun kisah ini dimulai dengan sebuah teori, teori fisika.

Kau mungkin akan menganggap cerita ini membosankan. Awalnya aku juga menduga kisah ini akan membosankan. Namun ajaibnya, ketika pendongeng itu mulai mengisahkan cerita mengenai hukum Newton dan Kuantum, aku mulai larut dalam antusiasmenya. Wajahnya tampak seperti pendongeng yang mengisi masa kecilku. Raut berubah-ubah sesuai dengan alur cerita yang dibawakan, ditambah kedua tangannya yang terkadang ikut bergoyang-goyang tanpa sadar. Kau mungkin heran, mana ada dongeng seperti itu?

Mungkin kau betul, mungkin memang tak ada dongeng seperti itu. Tapi kau mungkin akan percaya jika aku katakan hal ini. Ia berkata teori Newton yang aku peroleh selama ini sebenarnya hanya sebuah pendekatan, serta tidak merefleksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Hal ini terungkap ketika ditemukannya fisika modern, terutama mengenai kuantum yang mampu menjelaskan aksi-reaksi.

Nah, sekarang kau kaget bukan? Mana yang kau percayai, ilmu yang telah kau pelajari selama bertahun-tahun dan masih diajarkan sampai sekarang, atau sebuah cerita yang disampaikan oleh orang yang baru pertama kali kau temui. Tentu saja, ketika ia menyampaikan cerita itu pada beberapa orang yang mendengarkannya dengan terkagum-kagum, ia tidak mengaku bahwa ia seorang pendongeng. Kau mungkin bisa menduga-duga sebabnya. Aku sendiri berpikir jika seseorang mengakui dirinya sebagai pendongeng, maka tak akan ada yang mempercayainya. Tidak percaya? Sungguh aku tidak mengada-ada, coba saja kau tonton sebuah dongeng klasik, pasti kata-kata pembukanya dimulai dengan pada suatu waktu, disebuah kota dan seterusnya. Tak ada yang suka mengacaukan kejutan-kejutan di tengah cerita yang mungkin kau anggap tidak masuk akal. Karena itu aku paham ketika orang yang menceritakan kisah itu tak mau mengakui identitas aslinya.

Sayangnya, kisah dongeng itu tidak berakhir sampai disana. Aku menemukan kemiripin kisahnya ketika membaca sedikit mengenai teori kuantum. Mirip.. meski tentu saja, dengan ilmuku yang sangat sedikit dan ketidaktekunanku memahami sebuah teks, aku bisa berkata bahwa bisa saja kemiripan itu dipengaruhi pikiranku yang sudah terpengaruh kisah sang pendongeng. Tapi tetap saja kemiripan itu tak bisa kuenyahkan dengan mudah. Pikiran bahwa selama ini Newton diajarkan pada murid-murid SMP dengan alasan lebih sederhana dibandingkan teori kuantum, dan cukup memadai hingga akurasi tertentu meski bukan refleksi dari keadaan sesungguhnya cukup mengganggu. Bukan dalam artian bahwa aku menolak untuk belajar berbagai teori sebagai sebuah pembelajaran, namun lebih karena ternyata apa yang aku dapatkan di bangku sekolah tak lebih dari sebuah dongeng yang kebenarannya masih bisa digugat.

Misalnya untuk menghitung massa sebuah benda, aku menggunakan suatu formulasi yang telah ditetapkan. Dan ketika aku dikonfrontasi dengan sebuah ‘kebenaran’ baru, aku tidak tahu dasar yang harus aku pakai. Persis seperti kuliah analisis riil, ketika kami harus mulai mengkonstruksi barisan bilangan dari angka nol dan satu. Lalu mana yang bisa kusebut sebagai dongeng, dan mana yang riil? Apakah kau bisa membantu, atau jangan-jangan kau menganggapku sebagai seorang pendongeng juga?!

NB: Untuk orang-orang yang suka menceritakan hal-hal sophisticated, koq mirip dongeng ya?Ternyata batasan antara dongeng dengan fakta yang disampaikan kepada seseorang berbeda maqom(intelektual, ideologi, dll) sangat tipis. Malah bisa terjadi doktrinasi berkedok ilmiah, hanya karena lawan bicaranya kalah argumen(ketimpangan ilmu).

posted by ariani at 2:53 PM

Harapan, Kesadaran, dan Cita-cita

Kotak itu aneh. Keindahan dan keburukkan pada saat yang bersamaan. Kegelapan sekaligus cahaya, baik dan buruk. Hal-hal bertentangan yang dapat dirasakan hanya dengan mendekati kotak itu. Pandora teringat pesan untuk tidak membuka kotak itu. Ia biasa untuk patuh, tapi untuk kali ini semacam ada kekuatan lain diluar dirinya yang menyuruhnya untuk membuka kotak. Perasaan tidak tertahan, yang ia sendiri heran dari mana datangnya. Dengan perlahan disentuhnya kotak itu. Perasaan bersalah menjalar keseluruh tubuhnya, disaat yang sama ia juga merasakan gairah yang tak tertahankan. Perlahan namun pasti dibukanya tutup kotak itu. Dari balik tutup melesatlah cahaya-cahaya dengan berbagai bentuk yang belum pernah disaksikan Pandora. Keindahan, yang herannya malah membuat Pandora merinding karena takut. Perasaan itu sedikit teredam setelah kemunculan cahaya terakhir, kalau masih bisa disebut demikian, karena meski ia juga berpendar, sinarnya temaram.

Apa yang telah kulakukan, pikir Pandora takut. Cahaya-cahaya itu melesat kesegala penjuru bumi seperti kembang api. Sejak saat itu kehidupan manusia tidak pernah sama lagi. Keindahan cahaya yang mereka lihat membuat manusia seolah bangun dari sebuah tidur panjang. Kehidupan yang bagai lukisan, dari satu frasa ke frasa yang terjadi secara berulang-ulang, terus-menerus seolah tak ada ujung. Cahaya itu menyadarkan mereka akan sesuatu yang lebih, tentang persaingan, emosi dan juga keinginan-keinginan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Iri, marah, obsesi, membuat tatanan hidup mereka menjadi dinamis sekaligus kacau. Pandora hanya bisa berharap pada cahaya yang terakhir, yang ia sebut sebagai cahaya harapan. Bentuknya memang tak seindah cahaya-cahaya lain, namun dengan bentuknya itu ia berharap manusia dapat menemukan kesejatian dibalik penampilan fisik.

Saya sering bertanya-tanya kenapa dongeng Yunani tersebut hanya menyisakan satu buah kebaikan, yaitu harapan. Belakangan saya mengartikan segala hal yang disebut kejahatan dalam kisah Pandora tak sepenuhnya buruk, hanya salah penggunaan saja. Emosi yang hadir dalam kemarahan, atau ambisi jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bisa membuahkan hasil yang menakjubkan, melebihi segala hal yang dilakukan dalam kerangka rutinitas. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk unik, karena melakukan segala sesuatunya dalam koridor kesadaran, dan alasan itu yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukannya.

Saya sering berpikir-pikir, apa harapan saya yang terbesar? Pertanyaan yang belakangan ini mulai saya pikirkan dengan baik-baik, karena berapa tahun belakangan ini saya membiarkan hidup mengalir bagaikan air. Tanpa tahu hendak mengarah kemana, ataupun melalui apa saja. Dengan konsep menerima segala hal, dan berpikiran positif, saya pikir tak ada salahnya. Apalagi dengan cara itu, saya tidak akan tertimpa apa yang namanya stress, frustasi, atau hal-hal yang disebabkan kecewa akibat target yang tidak tercapai. Pandangan itu saya dasari dari prinsip kemerdekaan tertinggi, saat saya bisa bebas dari segala keinginan. Tapi kemudiaan, di penghujung tingkat 4 yang normalnya menjadi akhir dari status saya sebagai mahasiswa, saya mulai mempertimbangkan kembali jalan hidup yang hendak saya pilih. Saya susuri lagi jalan kenangan sampai menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan cita-cita.

Dalam jalan kenangan itu, saya terakhir memiliki cita-cita ketika duduk di bangku SMP. Saya tidak yakin apa yang menyebabkan cita-cita terputus begitu saja. Saya seringkali mencari jawaban pada orang-orang yang dekat saya. Ketika saya bertanya pada ibu apa cita-cita beliau, jawabannya dari dulu masih sama, “Menjadi pemenang Nobel.” Karena sosok ibu merupakan orang yang paling dekat dengan kehidupan saya, maka waktu kecil saya juga bercita-cita menjadi pemenang Nobel. Perlahan, cita-cita itu bergeser kesana kemari sesuai tren. Tapi seingat saya, tak pernah ada profesi spesifik. Hanya sebuah keberhasilan tanpa profesi tertentu ataupun keadaan sehari-hari ketika besar nanti. Salah satu yang paling sering terlontar adalah menjadi seorang peneliti yang bisa keliling dunia. Mungkin ini juga terpengaruh oleh ibu saya, yang meski jalurnya sudah jauh dari peneliti, namun keingintahuannya masih sangat besar. Dan karena telah menyandang predikat ibu, kecintaannya pada ilmu pengetahuan disalurkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk membaca.

Ketika, zaman-zaman SD-SMP, ibu membeli beberapa jenis ensiklopedi. Bahkan ada beberapa buku terbitan Life yang tertera tahun 1982, bahkan sebelum saya lahir(dan kakak baru lahir). Ketika saya tanya, apakah ibu sudah sempat membaca semuanya, ibu saya menjawab belum, maksud belinya juga agar dibaca oleh anak-anak, ya salah satunya saya ini:D. Meski begitu, baru belakangan saja saya membuka koleksi ensiklopedi, sebelumnya saya tenggelam dalam kisah-kisah Enid Blyton mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Elizabeth Jadi Pengawas, Malory Towers, St. Claire, Sirkus Pak Galiano, Noddy, hingga buku saku. Cerita-cerita itu mengajarkan saya banyak hal, tentang kejujuran, keadilan, saling menghormati serta juga hidup penuh petualangan.

Karena dibesarkan dengan kisah-kisah seperti itu, cita-cita saya juga berada dalam kondisi ideal seperti negara-negara Eropa. Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang peneliti di universitas(namun bukan menjadi dosen). Hidup tenang, dengan jam kerja yang masih memungkinkan untuk mengurusi segala urusan keluarga dan waktu luang di akhir minggu. Namun bayangan tersebut seolah menemukan titik baliknya ketika SMP. Berita-berita mengenai kondisi dalam negeri seolah menghantam saya ke dalam jurang. Kondisi ideal yang saya bayangkan terasa sangat egois. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan apa yang saya inginkan, sementara banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan sebagaimana yang saya miliki. Keadaan ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Berbagai pemikiran mendera kepala saya. Ditambah keadaan yang cukup memadai untuk membaca dua koran per hari, saya berubah menjadi sosok yang gelisah.

Seingat saya saat itulah saya kehilangan cita-cita sebagai seorang peneliti. Bahkan jalur IPA yang sudah saya yakini sejak lama, tiba-tiba goyah menjadi jurusan komunikasi massa, ataupun FISIP. Meski pada akhirnya saya memilih jalur IPA sebagaimana yang telah saya bayangkan sejak kecil, namun saya tidak tahu apakah saya masih orang yang sama seperti dulu. Bahkan kini saya mulai berpikir apakah saya masih dalam keadaan sadar atau tidak. Membiarkan hidup dikendalikan oleh segala hal yang berasal dari luar. Meski dengan keyakinan adanya petunjuk, saya merasa tak ada salahnya juga hidup dalam keadaan seperti itu, memiliki fungsi sosial, mengikuti sebuah jalur formal, serta senantiasa berpikiran positif.

Tapi sekarang, saya memilih untuk merebut kembali kesadaran saya, dan saya harap saya bisa menemukan diri saya kembali. Baru-baru ini saya kembali memiliki cita-cita: menjadi penulis cerita anak-anak. Saya terinspirasi oleh kisah-kisah Enid Blyton yang mengajarkan kerja keras kejujuran serta pantang menyerah lewat tokoh-tokoh George, Dick, Julian, Anne serta Timmy. Belakangan ini saya kembali membaca buku cerita, salah satunya karangan Kate de Castillo yang baru saya sadari untuk anak-anak ketika pada halaman terakhir ada formulir untuk mengikuti Gramedia Junior. Bersih dari kisah cinta muda-mudi, ataupun prasangka, paling-paling sedikit kenakalan dan ide cerdas yang cukup merepotkan, seperti sebuah tanah liat yang belum dibentuk. Sekadar buat penyemangat, Lewis Caroll seorang matematikawan, juga menjadi penulis anak-anak Alice in Wonderland.

NB: kepada Sang Maha yang memberikan keluarga dengan kasih tanpa batas dan syarat, semoga Kau berkenan melimpahi mereka dengan kasih-Mu, sebagaimana yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini.

patah Hati

Belum juga kutemukan arti cinta
Mungkinkah ini anti-tesisnya?
Dunia jingga kini kelabu
Kehangatan hanya menyisakan beku

Gawat, mayday-mayday, SOS...
Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba gelisah ngga jelas, terus di kompie terdengar lagu-lagu dari kelompok Century of Love vol.2. Apa aku lagi patah hati ya? Gila, ngga jelas gini. Lagian bisa-bisanya patah hati, suka sama siapa juga ngga tau. Apa gara-gara nonton film tentang pangeran dengan kuda coklat ya? Hua.. kayanya aku benar-benar harus menyeleksi jenis tontonan biar pikiran masih bisa kukontrol.

Aku abis baca bagian depan buku Virus Akalbudi(terjemahannya ga asyik, judul aslinya Virus of the Mind). Pengarangnya mantan orang Microsoft, Richard Brodie. Beberapa tahun lalu, aku udah pernah diceritaian mengenai memetika yang menghubungkan ilmu fisika, psikologi dan biologi, tapi baru sekarang aku nemu bukunya. Sering banget kejadian seperti itu, tertarik pada sesuatu beberapa tahunan silam, tapi baru nemu jawabannya setelah udah nyaris lupa dengan masalahnya.

Lalu apa hubungannya meme dengan patah hati? Hehe.. yang aku tangkep, meme itu sepeti bagian non-pyshic dari gen. Kalau di bio ada gen yang mempengaruhi bawaan seseorang seperti: warna rambut, mata, tinggi badan, penyakit, agresivitas dll, kalau dalam mind ada yang disebut dengan meme. Dalam buku itu, disarankan untuk memahami meme agar kita tahu, hal-hal yang kita lakukan, ngga sepenuhnya bisa dikendalikan oleh diri sendiri.

Nah, sekarang aku akan menganalisis diriku sendiri. Ada perasaan aneh yang ngga bisa kudefinisikan, dan berkaitan dengan seseorang. Menurut orang-orang yang kutanyai itu ada hubungannya dengan cinta. Karena aku ngga tahu, aku ikuti saja pendapat orang-orang, bahwa aku memang sedang bermasalah dengan yang namanya virus merah jambu itu. Menurut buku terbitan KPG itu, ketika aku sudah menerima pendapat orang-orang maka aku sudah terpengaruh meme dari orang lain. Biar jelas, aku culik aja definisi meme yang ada di buku Brodie: Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akal budi yang keberadaannya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akalbudi orang lain.[Brodie, Virus Akal Budi, h.28]

Dari definisi itu, kondisiku memang belum tentu patah hati, karena itu hanya pendekatan orang-orang terhadap keadaan yang kuceritakan. Tapi masalahnya malah jadi lebih rumit, karena ketika aku bilang patah hati, artinya aku sudah main bahasa. Seperti ketika membangun sebuah basis dalam aljabar. Untuk menentukan anggota kelompoknya, masing-masing elemen diperiksa, apakah bebas linier dan membangun atau tidak. Kalau sudah memenuhi syarat, maka ia bisa menjadi anggota basis tertentu. Semuanya hanya masalah konsep yang dibangun. Dalam kasusku ada dua kemungkinan, terjadi galat akibat penafsiran seseorang akan ceritaku. Hal ini terjadi karena tiap orang memiliki latarbelakngnya masing-masing(dalam ilmu sosial, sulit untuk melakukan pengelompokkan karena sifat manusia sangat kompleks). Kemungkinan kedua, memang tak ada definisi baku mengenai patah hati. Dengan kata lain tak ada yang bisa memvalidasi, aku sedang patah hati atau ngga.

Menurut Whitehead, yang kata-katanya dikutip di bab pertama, “Tak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah separo kebenaran.” Rumus-rumus atau apapun yang ada sekarang merupakan pendekatan akan kebenaran, alias konsep-konsep yang dibangun. Setahuku pendekatan ini kental setelah adanya fisika modern, yang banyak menawarkan konsep ketidakpastian, pengaruh pengamat, dll. Gara-gara ini, mungkin pendekatannya jadi rada positivis. Selama sebuah konsep/formula berguna dan cocok untuk mengerjakan beberapa penyelesaian, maka konsep itu akan terus digunakan.

Dengan pendekatan positivis, setiap permasalahan harus dianalisis agar bisa dipecahkan dengan konsep yang cocok. Seperti ketika menerapkan metode numerik tertentu dalam masalah optimasi. Numeriknya saja sudah merupakan pendekatan dari solusi eksak, apalagi kalau salah mengenali permasalahan, errornya bisa semakin besar. Tapi kalau dalam hal-hal non-eksak, apakah mengenali permasalahan membantu banyak ya?

Misalnya aku tahu aku tengah patah hati, trus apa? Apalagi tak ada yang bisa menjamin aku memang benar-benar dalam kondisi itu. Misalkan aku terima meme dari orang-orang yang ada disekelilingku bahwa aku patah hati, maka lambat laun aku akan percaya bahwa aku memang sedang patah hati. Kemudian karena aku sudah menerima patah hati sebagai keadaan yang menimpa diriku, meski belum tentu benar, selanjutnya aku juga akan menerima meme-meme dari orang lain yang menyangkut: betapa menyedihkannya orang yang patah hati dsb-dsb.

Kalau kupikir-pikir, lebih baik aku biarkan perasaan aneh itu di dalam hati. Malah semakin tidak dipikirkan lebih cepat perasaan itu hilang. Seperti penularan virus flu, untuk menghindar dari penyakit itu yang harus dilakukan adalah memperkuat kekebalan tubuh. Begitu juga dengan virus akalbudi, cara menghindarinya adalah dengan memperkuat keyakinan diri sendiri, dan tidak termakan omongan orang.

Apakah meme pasti jelek? Ngga juga sih, pendapat orang pasti ada bagusnya juga. Tapi untuk masalah-masalah perasaan, kayanya emang rada berbahaya. Lagian karakternya mirip api yang semakin dikipas-kipas(baca: makin banyak orang tau), bakal makin berkobar, jadi kayanya mending diem-diem aja. Sekarang aja aku tulis karena ngga punya objek lain. Terpaksa aku sendiri yang jadi kelincinya(sambil berdoa semoga si kelinci ngga kenapa-napa setelah melakukan analisis terhadap dirinya sendiri).

Catatan kecil:

* Wacana meme masih terbilang baru bagiku, jadi aku ngga yakin penafsiranku atas apa yang kubaca sudah tepat atau belum. Beberapa analogi yang mungkin membantu: komputer analog dengan manusia, hardware dengan gen, dan software dengan meme. Dari penjelasan yang diberikan oleh Plotkin(seorang psikolog): meme merupakan cerminan pengetahuan yang tersimpan di dalam akalbudi kita. Aku mengartikan kata-kata tersebut sebagai sebuah naluri dasar. Dalam psikologi, naluri itu dibagi menjadi empat: figthing, fleeing, feeding, finding a mate. Keempat naluri itu ada kaitannya dengan meme, tapi aku tidak yakin bagaimana...(masih harus banyak baca lagi).
* Sebagaimana virus pada manusia, maupun komputer, virus akalbudi pun tidak dapat dikendalikan. Hinggap pada inang, kemudian menggunakan alat-alat pada tubuh inangnya untuk menduplikasi sifat-sifat si virus sehingga sifat si virus akan terdapat pada keturunan inang.
* Mengenai perilaku manusia, 88% dipengaruhi kondisi bawah sadar. Jadi meski setengah mati nyangkal bahwa aku dalam kondisi baik-baik aja, aku ngga tahu alam bawah sadarku sependapat atau ngga.
* Aku lagi mencoba memrogram diriku agar menjadi rada ilmiah. Makanya lagi senang membaca teks-teks yang ditulis oleh orang sains. Apa yang aku baca di buku Brodie, mengingatkan aku pada website edge.org. Salah satu alasannya adalah karena sama-sama diilhami oleh pandangan evolusionis.

membaca rasa

Beberapa hari belakangan Aksara mengadakan parade jalan-jalan. Minggu, jalan-jalan keliling kampus, Selasa jalan-jalan di BIP sekalian nunggu film Batman Begins, dan Rabu ke tobucil dan Aula Barat ngeliatin karya TPB anak SR. Kurang tepat juga kalau dibilang Aksara, soalnya yang ikut Cuma empat-enam orang, tapi kegiatannya khas Aksara banget: spontan dan lucu.

Aku lagi mikir kenapa jalan-jalan keliling kampus bisa menyenangkan. Tempatnya biasa banget, gimana ngga wong nyaris setiap hari masih harus ke kampus, teman-temannya juga sering banget ketemu di Salman, tapi tetap aja ada hal-hal yang bisa membuatku terheran-heran dan tertawa. Seperti ketika kami naik ke gedung PAU lantai 8. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 ketika kami naik menggunakan lift sempit berkapasitas 10 orang. Diisi kami berenam saja sudah cukup sesak, gimana kalau ditambah 4 orang lagi. Daripada bingung-bingung membayangkan, kami berbaris dengan rapih di lift temaram tersebut sambil memikirkan proporsi orang yang bisa mengisi ruang kosong yang tersisa. Kayanya rada maksa juga kalau diisi sampai kapasitas maksimum.

Lift berhenti dengan gaya unik, jegrek... Mirip naik roller coaster ketika hendak jalan, mengejutkan. Untungnya tidak terjadi apa-apa, setelah berhenti liftnya terbuka normal. Suasana lantai 8 cukup sepi, kami hanya berpapasan dengan satu orang yang hendak turun kebawah. Dari lantai tersebut kami bisa melihat pemandangan gunung Tangkuban Perahu, dan dari sisi lainnya kami bisa mengamati mentari yang memancarkan cahaya merah jingga. Bentuknya masih bulat, tapi posisinya sudah mau tenggelam. Sayang, pintu menuju keluar terkunci, jadi kami hanya bisa mengamati dari balik kaca.

Saat sedang melihat-lihat di depan sekre radio 8EH, tiba-tiba Yan, Ales, Arief, dan Sra berlari-lari. “Apaan nih?” pikirku heran. Sambil ikutan lari-lari, aku mulai mikir yang aneh-aneh, apalagi ITB punya banyak cerita spooky-spooky. Tapi yang bikin aku curiga, mereka lari sambil cengar-cengir, sambil sesekali bersembunyi dibalik tiang layaknya sedang melakukan pengintaian ala detektif. “Ssst...,” kata salah seorang mereka. “Hmm, kayanya ada petugas deh,” mencoba mencari jawaban yang lebih masuk akal. Sesampainya kami di dekat lift, kami bersembunyi di balik tembok. Akhirnya aku tahu kalau mereka semua mau ngerjain Salim yang tertinggal di belakang.

Keadaan yang cukup sepi membuat suara cekikikan kami terdengar cukup jelas, tak beberapa lama kami pun ketahuan. Yah, sebenarnya sih karena kami memang tidak benar-benar bersembunyi. Kegiatan-kegiatan yang kalau dipikir-pikir konyol, tapi menyenangkan. Kayanya semua orang punya sisi kekanak-kanakan yang tersembunyi deh. Bayangin aja 5 orang mahasiswa dengan tas di punggung, lari-lari di gedung yang udah nyaris kosong, sore-sore hari Minggu pula. Rada-rada ajaib bukan?

Ternyata mencari kegiatan menyenangkan tidak begitu sulit. Cukup berkumpul dengan orang-orang dekat, tidak peduli kegiatannya konyol atau keren rasanya tetap sama. Hal yang juga aku peroleh ketika jalan-jalan ke BIP, bagiku selain filmnya yang memang keren, kebersamaan seusai film selesai sama menyenangkannya. Komentar-komentar nyleneh gara-gara waktu mau turun dengan eskalator ada bau tidak sedap, lontaran-lontaran yang mampu memancing tawa, semuanya memberi kesan menyenangkan bagiku.

Mungkin karena waktu SMK aku tinggal di asrama. Segala hal dilakukan secara bersama-sama. Tak ada ruang bagi kesedihan yang berlarut-larut, tersapu tawa kawan yang menghibur silih berganti. Kebersamaan yang menurutku menghilangkan ego seseorang. Kebahagian berarti kebersamaan, lebur, menyatu. Bahkan aku juga belajar bagaimana kebahagiaan bisa menular. Hanya dengan melihat teman senang, perasaan kita turut nyaman. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa teman, hii...

malam

Menyatukan segala indra untuk memahami segala yang telah terjadi
Tersadar, sudah lama aku tak menyebut-Mu
Entah apa yang kulalui
Terpesonakah aku pada ciptaan-Mu?
Ingin rasanya aku berkata, masih seperti dulu
Saat Kau menjadi teman bicaraku
Saat aku cemburu pada hamba-hamba-Mu
yang tampak begitu menyatu ketika mengadu pada-Mu
Aku rindu...
pada segala keintiman yang tak terlukiskan
pada malam-malam dimana Kau menelan segala keresahan
Saat hijab terasingkan
Saat Kau menjadi satu-satunya tujuan
Masih adakah sejengkal ruang?

Agama

Dari sekian klasifikasi, santri-abangan hingga fundamentalis-liberal, saya tak berhasil memposisikan diri. Pun jika dikaji dengan pendekatan ormas seperti NU, Muhammadiyah maupun Persis. Kalaupun ada kata yang cukup mencerminkan warna keberagamaan saya, saya memilih moderat dengan segala penafsiran dan pengertiannya. Kadang saya memposisikan sebagai seorang naturalis, namun disaat lain saya menutup segala pikiran saya dan melakukan kegiatan yang acap disebut dogmatis.

Entahlah, kadang saya suka bingung. Antara universalitas, logika, hingga keterbatasan manusia. Apa yang disebut dengan kebenaran? Apakah manusia memiliki hak untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah? Jawaban atas pertanyaan terakhir bagi saya adalah tidak. Tapi entah kenapa, belakangan ini kian banyak orang yang mengklaim kebenaran. Bukankah mengambil hak prerogatif Allah sama saja dengan syirik? Lalu kenapa masih ada yang suka sombong dengan keberimanannya, mengaku paling benar dan mengklaim yang lain salah?

Disisi lain, kalau setiap orang tenggelam dalam kebenarannya masing-masing, bagaimana keyakinan itu dapat diperoleh? Apa yang menyebabkan seseorang yakin, dan kemudian memanifestasikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan? Seperti perintah untuk berperang yang turun melalui tiga tahap, bagaimana dengan kondisi saat ini, saat banyak negara yang berkobar atas nama Tuhan. Bukankah kecendrungan manusia adalah pada perdamaian?

Lalu kalau semua agama cenderung pada perdamaian--sebagaimana yang didoktrinkan dalam buku PPKn masa SMA dimana terdapat kutipan-kutipan dari berbagai kitab yang menyebutkan benang merah semua agama adalah kebaikan dan cinta damai—mengapa peperangan menjadi bagian dari sejarah manusia? Terus menerus tanpa henti, hanya berganti rupa. Lewat bom atom yang bisa digerakkan dari jarak ribuan kilometer, atau perang terselubung berupa pemikiran.

Kenapa semuanya senang pada konflik? Meski ada teori yang menyebutkan manusia tak pernah bisa mengenyahkan insting hewani sepenuhnya. Kalaupun dalam tampilan luar terlihat wajar, ia membutuhkan pelampiasan. Hal inilah yang mengakibatkan game-game perang-perangan maupun duel menjadi game paling laku sepanjang massa. Demikian pula dengan adu tinju, gulat, maupun wrestling di TV. Taruhan yang memnyertai pertandingan itu, jeritan-jeritan penuh semangat seolah merayakan sisi hewaniah manusia yang tak berhasil dijinakkan.

Apakah agama itu? Ditilik dari a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, seharusnya agama merupakan petunjuk jalan yang menghantarkan manusia pada keteraturan. Tapi keteraturan macam apa, hukum-hukum yang bagaimana? Dan kenapa selalu atas nama agama? Apakah hanya kedok budaya dengan tabu-nya(pake pendekatan psikologis), atau ketika seseorang telah memutuskan beragama, maka ia telah menyatukan jiwa dan raganya kepada keyakinannya itu?

Lalu kenapa masih ada korupsi, pencurian, ketimpangan, dan segala tetek bengek lainnya? Apakah semua hal itu tak ada kaitannya dengan gaya hidup? Apakah agama hanya mengurusi masalah-masalah besar seperti perdamaian di muka bumi, isu terorisme hingga memicu diadakannya dialog interfaith yang kedua? Semuanya tampak non sense. Saat membicarakan masalah-masalah besar, semua orang tampak peduli dan alim-alim, tapi begitu dihadapkan dengan kehidupan sehari-hari tak tampak jejak agama. Agama lenyap dengan segala kemegahannya. Timpang, tak utuh, cacat.

Apa yang salah? Semua pemeluk agama pasti akan membela agamanya mati-matian, hingga titik darah penghabisan kalau perlu. Agama menjadi sumber kebenaran dan juga sumber harapan. Karena itu pula psikologi materialisme menuduh agama hanyalah bentuk pelarian manusia akan sosok ‘ayah-ibu.’ Atau mengutip kata-kata Marx yang terkenal: agama adalah candu. Meski kalau melihat dari kacamata Jung(yang terdistorsi lagi oleh kacamata yang saya gunakan), agama merupakan kebutuhan dasar manusia. Jadi ‘aku’ dalam diri tiap manusia pada dasarnya bisa membantu alam sadar manusia untuk mengenali eksistensinya(lagi baca buku Zen & Psikoanalisis, tapi logikanya masih belepotan didalam kepala).

Dengan begitu agama yang kalau diartikan secara umum merupakan keyakinan seseorang yang berasal dari kitab suci(dalam pelajaran-pelajaran zaman baheula, agama dibedakan dengan kepercayaan, yang sumbernya tidak berasal dari kitab suci) merupakan jalan hidup, way of life seseorang. Didalamnya terdapat masalah-masalah profan, transenden, hingga yang skala mikro. Hua..ah alur berpikirnya kacau banget.

Agama mengantarkan seseorang pada keselamatan(p => q)
Seseorang tidak selamat (~q)
Kesimpulannya: tidak beragama(~p)
(ket: p => q ekivalen dengan ~q => ~p)

Nah, kalau sekarang kondisi yang kita hadapi kacau balau, kemungkinannya ada dua. Saya sebagai pengamat yang bermaksud objektif tapi ngga mungkin(saya kontra dengan pemisahan objektivitas dan afek versi Descartes), yang salah dalam memberikan penilaian(saya melihatnya sebagai kekacauan, padahal kondisi sebenarnya baik-baik saja) atau kondisi sekarang adalah kondisi tidak beragama(meski kadarnya mungkin bisa berbeda-beda bagi tiap orang)?

Saya cenderung pada pilihan kedua. Tapi lagi-lagi pilihan saya ini dipengaruhi asumsi awal bahwa kondisi yang saya lihat adalah benar. Sama ketika teman saya marah-marah pada diskusi dengan sebuah golongan. “Masa Yut, mereka bilang kaya gini: Semua manusia pasti pernah berbuat salah, Nabi adalah seorang manusia, kesimpulannya: Nabi pasti pernah berbuat salah.” Terlepas dari perdebatan yang panjang lebar mengenai kema’suman seorang Nabi, premis diatas juga tak lepas dari asumsi dasar: semua manusia pasti pernah berbuat salah. Padahal pernyataan itu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan cara mengambil manusia sebarang, kemudian menggunakan metode induksi. Tentu saja hal itu sangat rumit. Sebaliknya untuk membuktikan pernyataan tersebut salah cukup mengambil satu contoh penyangkal. Membuktikan suatu pernyataan benar jauh lebih sulit dibandingkan membuktikannya salah. (Udah, ah, keterangan lebih lanjut mending ikut kuliah anril aja).

Intinya, manusia itu sebenarnya subjektif(huehehe... jadi ngikutin Wittgenstein dan Kiekergard deh), jadi untuk bertahan di dunia yang fana ini kita harus menemukan eksistensi dalam diri masing-masing. Seperti peran analisis dalam psikoanalisis dan master dalam Zen, manusia harus berhasil mendamaikan alam bawah sadarnya dengan sadar, atau dalam bahasa Zen menembus batasan ‘aku’ dalam dirinya, jalan dari perbudakan menuju pembebasan diri. Kalau psikoanalisis melakukannya dengan sosok analisis, maka Zen menggunakan metode meditasi, koan dll. Saya lebih cenderung pada cara Zen, yang sejalan dengan apa yang saya yakini. Agama yang dalam hal ini didefinisikan bersumber pada sebuah kitab, merupakan petunjuk jalan bagi manusia untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai seorang abd’ dan menuju Yang Esa.
Dari sekian klasifikasi, santri-abangan hingga fundamentalis-liberal, saya tak berhasil memposisikan diri. Pun jika dikaji dengan pendekatan ormas seperti NU, Muhammadiyah maupun Persis. Kalaupun ada kata yang cukup mencerminkan warna keberagamaan saya, saya memilih moderat dengan segala penafsiran dan pengertiannya. Kadang saya memposisikan sebagai seorang naturalis, namun disaat lain saya menutup segala pikiran saya dan melakukan kegiatan yang acap disebut dogmatis.

Entahlah, kadang saya suka bingung. Antara universalitas, logika, hingga keterbatasan manusia. Apa yang disebut dengan kebenaran? Apakah manusia memiliki hak untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah? Jawaban atas pertanyaan terakhir bagi saya adalah tidak. Tapi entah kenapa, belakangan ini kian banyak orang yang mengklaim kebenaran. Bukankah mengambil hak prerogatif Allah sama saja dengan syirik? Lalu kenapa masih ada yang suka sombong dengan keberimanannya, mengaku paling benar dan mengklaim yang lain salah?

Disisi lain, kalau setiap orang tenggelam dalam kebenarannya masing-masing, bagaimana keyakinan itu dapat diperoleh? Apa yang menyebabkan seseorang yakin, dan kemudian memanifestasikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan? Seperti perintah untuk berperang yang turun melalui tiga tahap, bagaimana dengan kondisi saat ini, saat banyak negara yang berkobar atas nama Tuhan. Bukankah kecendrungan manusia adalah pada perdamaian?

Lalu kalau semua agama cenderung pada perdamaian--sebagaimana yang didoktrinkan dalam buku PPKn masa SMA dimana terdapat kutipan-kutipan dari berbagai kitab yang menyebutkan benang merah semua agama adalah kebaikan dan cinta damai—mengapa peperangan menjadi bagian dari sejarah manusia? Terus menerus tanpa henti, hanya berganti rupa. Lewat bom atom yang bisa digerakkan dari jarak ribuan kilometer, atau perang terselubung berupa pemikiran.

Kenapa semuanya senang pada konflik? Meski ada teori yang menyebutkan manusia tak pernah bisa mengenyahkan insting hewani sepenuhnya. Kalaupun dalam tampilan luar terlihat wajar, ia membutuhkan pelampiasan. Hal inilah yang mengakibatkan game-game perang-perangan maupun duel menjadi game paling laku sepanjang massa. Demikian pula dengan adu tinju, gulat, maupun wrestling di TV. Taruhan yang memnyertai pertandingan itu, jeritan-jeritan penuh semangat seolah merayakan sisi hewaniah manusia yang tak berhasil dijinakkan.

Apakah agama itu? Ditilik dari a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, seharusnya agama merupakan petunjuk jalan yang menghantarkan manusia pada keteraturan. Tapi keteraturan macam apa, hukum-hukum yang bagaimana? Dan kenapa selalu atas nama agama? Apakah hanya kedok budaya dengan tabu-nya(pake pendekatan psikologis), atau ketika seseorang telah memutuskan beragama, maka ia telah menyatukan jiwa dan raganya kepada keyakinannya itu?

Lalu kenapa masih ada korupsi, pencurian, ketimpangan, dan segala tetek bengek lainnya? Apakah semua hal itu tak ada kaitannya dengan gaya hidup? Apakah agama hanya mengurusi masalah-masalah besar seperti perdamaian di muka bumi, isu terorisme hingga memicu diadakannya dialog interfaith yang kedua? Semuanya tampak non sense. Saat membicarakan masalah-masalah besar, semua orang tampak peduli dan alim-alim, tapi begitu dihadapkan dengan kehidupan sehari-hari tak tampak jejak agama. Agama lenyap dengan segala kemegahannya. Timpang, tak utuh, cacat.

Apa yang salah? Semua pemeluk agama pasti akan membela agamanya mati-matian, hingga titik darah penghabisan kalau perlu. Agama menjadi sumber kebenaran dan juga sumber harapan. Karena itu pula psikologi materialisme menuduh agama hanyalah bentuk pelarian manusia akan sosok ‘ayah-ibu.’ Atau mengutip kata-kata Marx yang terkenal: agama adalah candu. Meski kalau melihat dari kacamata Jung(yang terdistorsi lagi oleh kacamata yang saya gunakan), agama merupakan kebutuhan dasar manusia. Jadi ‘aku’ dalam diri tiap manusia pada dasarnya bisa membantu alam sadar manusia untuk mengenali eksistensinya(lagi baca buku Zen & Psikoanalisis, tapi logikanya masih belepotan didalam kepala).

Dengan begitu agama yang kalau diartikan secara umum merupakan keyakinan seseorang yang berasal dari kitab suci(dalam pelajaran-pelajaran zaman baheula, agama dibedakan dengan kepercayaan, yang sumbernya tidak berasal dari kitab suci) merupakan jalan hidup, way of life seseorang. Didalamnya terdapat masalah-masalah profan, transenden, hingga yang skala mikro. Hua..ah alur berpikirnya kacau banget.

Agama mengantarkan seseorang pada keselamatan(p => q)
Seseorang tidak selamat (~q)
Kesimpulannya: tidak beragama(~p)
(ket: p => q ekivalen dengan ~q => ~p)

Nah, kalau sekarang kondisi yang kita hadapi kacau balau, kemungkinannya ada dua. Saya sebagai pengamat yang bermaksud objektif tapi ngga mungkin(saya kontra dengan pemisahan objektivitas dan afek versi Descartes), yang salah dalam memberikan penilaian(saya melihatnya sebagai kekacauan, padahal kondisi sebenarnya baik-baik saja) atau kondisi sekarang adalah kondisi tidak beragama(meski kadarnya mungkin bisa berbeda-beda bagi tiap orang)?

Saya cenderung pada pilihan kedua. Tapi lagi-lagi pilihan saya ini dipengaruhi asumsi awal bahwa kondisi yang saya lihat adalah benar. Sama ketika teman saya marah-marah pada diskusi dengan sebuah golongan. “Masa Yut, mereka bilang kaya gini: Semua manusia pasti pernah berbuat salah, Nabi adalah seorang manusia, kesimpulannya: Nabi pasti pernah berbuat salah.” Terlepas dari perdebatan yang panjang lebar mengenai kema’suman seorang Nabi, premis diatas juga tak lepas dari asumsi dasar: semua manusia pasti pernah berbuat salah. Padahal pernyataan itu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan cara mengambil manusia sebarang, kemudian menggunakan metode induksi. Tentu saja hal itu sangat rumit. Sebaliknya untuk membuktikan pernyataan tersebut salah cukup mengambil satu contoh penyangkal. Membuktikan suatu pernyataan benar jauh lebih sulit dibandingkan membuktikannya salah. (Udah, ah, keterangan lebih lanjut mending ikut kuliah anril aja).

Intinya, manusia itu sebenarnya subjektif(huehehe... jadi ngikutin Wittgenstein dan Kiekergard deh), jadi untuk bertahan di dunia yang fana ini kita harus menemukan eksistensi dalam diri masing-masing. Seperti peran analisis dalam psikoanalisis dan master dalam Zen, manusia harus berhasil mendamaikan alam bawah sadarnya dengan sadar, atau dalam bahasa Zen menembus batasan ‘aku’ dalam dirinya, jalan dari perbudakan menuju pembebasan diri. Kalau psikoanalisis melakukannya dengan sosok analisis, maka Zen menggunakan metode meditasi, koan dll. Saya lebih cenderung pada cara Zen, yang sejalan dengan apa yang saya yakini. Agama yang dalam hal ini didefinisikan bersumber pada sebuah kitab, merupakan petunjuk jalan bagi manusia untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai seorang abd’ dan menuju Yang Esa.

kehidupan

Cinta...
Sirna...
Satu...
Padu...

Adakah seseorang yang menolak disayang, dicintai, diinginkan? Hidup dalam kesendirian, kesepian, karena telah memiliki segala. Berkawan materi, gunjingan-gunjingan, dan bedak berlapis-lapis karena tengah berjerawat. Dengan sepatu kulit impor yang harganya dapat menghidupi sebuah keluarga sederhana selama satu bulan. Mobil mewah berjajar di garasi, dengan orang-orang yang siap membantu membukakan pintu hingga semir sepatu. Dalam salah satu adegan, sang ibu dengan kalung-kalung bertatahkan berlian, mencium anaknya. Dinasehatinya anak itu panjang lebar. Namun matanya kosong, sang anak pun mendengarkan sambil menambahkan sepotong ya pada bagian pertanyaan.

Tak jauh dari rumah megah itu, ada seorang ayah yang baru saja di PHK. Sang istri yang menjadi babu cuci tak dapat membantu banyak. Padahal sebentar lagi anak mereka akan kembali bersekolah setelah libur kenaikan kelas. Itu artinya ia harus siap mengeluarkan uang lebih. Dengan mata tak berdaya dipandanginya angka satu di rapot anaknya. Sudah berulang kali tertoreh angka satu di peringkat kelas. Angka yang tak hanya membuat bangga, namun lebih menorehkan luka. Perasaan terkoyak karena tak dapat berbuat banyak karena masalah biaya.

Sang anak memang tak pernah berharap banyak. Ia selalu berkata, ia selalu siap kalau harus berhenti sekolah. Tangan-tangan mungil anak usia empat SD itu bahkan sudah tahu bagaimana mencari uang dengan mengambil kue-kue tetangganya untuk dititipkan di koperasi sekolah. Tangan-tangan yang juga mengangkat tangannya kepada Sang Maha Kuasa dan senantiasa berdoa untuk dapat menjadi orang besar. Pinta yang diucapkan setiap kali, layaknya tasbih. Hingga meski tak pernah terkatakan, sang ayah tahu mimpi-mimpi anaknya.

Di tengah kegalauan, bimbang dan putus asa sang ayah menjadi gelap mata. Dilihatnya anak yang tak pernah merasakan tanah lumpur. Sepatu olahraga yang tampak selalu baru, tas berwarna, dan mobil lengkap sopir yang mengantarkannya kemana-mana. Dicarinya akal agar dapat merampas sesuatu dari anak itu, agar tak hanya anak orang kaya yang dapat merasakan bahagia. Ia ingin anaknya dapat merasakan hak yang sama, barang-barang keluaran pabrik, mengkilap dan harum. Pikiran-pikiran itu kian sering menggodanya, terutama semenjak ia tak lagi dapat membantu istrinya.

Di tengah rasa frustasi, ia mulai suka melayang. Alkohol menjadi salah satu kawan terbaiknya. Memberikan detik-detik paling bebas dalam hidupnya. Ia merasa begitu merdeka untuk melayangkan tangannya ke wajah sang istri yang kini lebih sering menangis. “Ah, berisik,” ketika sang istri menolak memberikannya uang sambil memberikan sebuah pukulan yang menorehkan lebam di pipi.

Kejadian itu berulang. Dan kali ini sang suami mulai mencari cara lain untuk memperoleh uang. Ia berniat untuk melaksanakan rencananya terhadap keluarga kaya itu. Ia akan menculik anak yang baginya tampak terlalu bahagia itu. Kenapa ada orang yang berhak menerima semua itu sedangkan dirinya harus terperangkap dalam kemiskinan, ketidakberdayaan, dan dilecehkan oleh istrinya sendiri. Kemarahan itu begitu menggebu-gebu. Menghentak, membuncah, hingga nyaris tak tertahankan. Dengan sisa-sisa akalnya, ia menyusun sebuah rencana penculikan.

Dan terjadilah. Ketika anak tersebut sedang menunggu jemputan di sekolahnya, laki-laki yang gelap mata itu menculik anak itu. Rencananya sederhana, untuk meminta uang tebusan, sama seperti yang sering dilihatnya di sinetron. Bukankah itu artinya keadilan, ketika setiap orang bisa merasakan hal yang sama, dan bagi dirinya, inilah saatnya ia bisa memperoleh uang banyak, dan membuat orang-orang yang tampak terlalu sempurna itu untuk menderita.

Di sebuah tempat yang sepi ia mengikat mulut anak itu. Tapi setetes air membuatnya terkejut. Mata anak itu mengeluarkan air dan menyiratkan ketakutan. Laki-laki itu sekilas teringat anaknya di rumah. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, anak itu tidak menjerit-jerit mencari ibunya, melainkan hanya menangis tergugu dan pasrah. Kebeningan mata anak itu membuatnya takut, perasaan yang sudah lama tak dirasakannya. “Ternyata orang kaya bisa menangis juga,” pikirnya. Ketika ia memeluk anak itu, tangisan itu malah terdengar lebih keras. “Su...su..sudah la..lama, ibu saya tak me..melakukannya,” ucap sang anak dengan tergugu.

Kata-kata itu langsung menghancurkan pertahanan penculik. Dengan airmata yang membuat pandangannya kabur, ia melepaskan ikatan di tangan anak itu dan menyuruhnya pergi. Sementara sang ibu yang telah diberitahu oleh sopir bahwa anaknya tak ada di sekolah mulai merasa cemas. Pikiran-pikiran mengenai model baju terbaru musim ini yang tadi diperbincangkan seru di arisan, sirna. Perbincangan anak saya ikut les ini-itu, menang lomba antah berantah, hingga piala-piala kecil yang menghiasi salah satu pojok ruang tamunya terasa mengejek. Dengan perasaan galau dibantingnya salah satu piala milik anaknya.

Piala itu diperoleh anaknya ketika harus mengikuti lomba aritmatik. Di bagian bawahnya tertulis juara harapan I. Saat hendak mengikuti lomba itu, sang anak menolak ikut karena merasa tak enak badan. Tapi saat itu ia memaksa anaknya untuk tetap ikut. Minggu lalu, teman arisannya bercerita mengenai keberhasilan anaknya menang lomba. Ia tak mau kalah, ia merasa anaknya adalah yang terbaik dan tak terkalahkan. Karena itu ketika anaknya hanya memperoleh juara harapan, ia merasa sangat marah.

Potongan-potongan itu menyerangnya, menyerbunya, membuat kilatan-kilatan peristiwa. Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. “Ma, ini ade. Ade ada ada di dekat SD Harapan Bangsa. Tolong jemput ade ya, Ma.” Dengan langkah tergopoh, ibu itu langsung meminta sopirnya untuk ke sekolah. Baru kali itu ia tidak memikirkan tatanan rambutnya, atau parfum apa yang harus dikenakannya. Ia merasa menjadi orang yang begitu jahat dan egois hingga nyaris kehilangan putranya sendiri. Kehilangan yang sebenarnya sudah terjadi bebapa tahun semenjak ia mengambil jarak, dan menutup hatinya.

Dari kejauhan dilihatnya putra semata wayangnya itu. Dengan baju agak berantakan dan wajah sedikit pucat. “Sudah berapa lama saya tak melihatnya tertawa lepas,” pikir sang ibu sedih. Ketika mobil berhenti, sang ibu langsung turun sambil memeluk anaknya yang baru kelas 3 SD itu. “Maafkan, ibu nak. Ibu minta maaf. Apa kamu ngga apa-apa Yang?” Sang anak hanya menguatkan dekapan pada ibunya.

Sementara laki-laki yang gelap mata, mulai berusaha bangkit. Dipandanginya lautan sampah yang ada di matanya. Perlahan ia mulai mengumpulkan botol-botol bekas. Ia bertekad, tak akan pulang ke rumah dengan kosong. Ia tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ia rindu tatapan anak dan istri yang begitu menyayanginya. Ia ingin menjadi bagian dari kehidupan itu kembali.
Untuk teman-temanku di Siaware tujuh: Saat kehidupanku beririsan denganmu, kau telah menjadi bagian dari diriku. Sang Sutradara telah menggariskan kisah ini untukku, untuk membuatku kuat, dan menyadari bahwa ternyata kaupun tak sempurna. Aku melihat diriku dalam dirimu, dan itu membuatku merasa kita adalah satu.