Kamis, 01 Oktober 2009

Harapan, Kesadaran, dan Cita-cita

Kotak itu aneh. Keindahan dan keburukkan pada saat yang bersamaan. Kegelapan sekaligus cahaya, baik dan buruk. Hal-hal bertentangan yang dapat dirasakan hanya dengan mendekati kotak itu. Pandora teringat pesan untuk tidak membuka kotak itu. Ia biasa untuk patuh, tapi untuk kali ini semacam ada kekuatan lain diluar dirinya yang menyuruhnya untuk membuka kotak. Perasaan tidak tertahan, yang ia sendiri heran dari mana datangnya. Dengan perlahan disentuhnya kotak itu. Perasaan bersalah menjalar keseluruh tubuhnya, disaat yang sama ia juga merasakan gairah yang tak tertahankan. Perlahan namun pasti dibukanya tutup kotak itu. Dari balik tutup melesatlah cahaya-cahaya dengan berbagai bentuk yang belum pernah disaksikan Pandora. Keindahan, yang herannya malah membuat Pandora merinding karena takut. Perasaan itu sedikit teredam setelah kemunculan cahaya terakhir, kalau masih bisa disebut demikian, karena meski ia juga berpendar, sinarnya temaram.

Apa yang telah kulakukan, pikir Pandora takut. Cahaya-cahaya itu melesat kesegala penjuru bumi seperti kembang api. Sejak saat itu kehidupan manusia tidak pernah sama lagi. Keindahan cahaya yang mereka lihat membuat manusia seolah bangun dari sebuah tidur panjang. Kehidupan yang bagai lukisan, dari satu frasa ke frasa yang terjadi secara berulang-ulang, terus-menerus seolah tak ada ujung. Cahaya itu menyadarkan mereka akan sesuatu yang lebih, tentang persaingan, emosi dan juga keinginan-keinginan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Iri, marah, obsesi, membuat tatanan hidup mereka menjadi dinamis sekaligus kacau. Pandora hanya bisa berharap pada cahaya yang terakhir, yang ia sebut sebagai cahaya harapan. Bentuknya memang tak seindah cahaya-cahaya lain, namun dengan bentuknya itu ia berharap manusia dapat menemukan kesejatian dibalik penampilan fisik.

Saya sering bertanya-tanya kenapa dongeng Yunani tersebut hanya menyisakan satu buah kebaikan, yaitu harapan. Belakangan saya mengartikan segala hal yang disebut kejahatan dalam kisah Pandora tak sepenuhnya buruk, hanya salah penggunaan saja. Emosi yang hadir dalam kemarahan, atau ambisi jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bisa membuahkan hasil yang menakjubkan, melebihi segala hal yang dilakukan dalam kerangka rutinitas. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk unik, karena melakukan segala sesuatunya dalam koridor kesadaran, dan alasan itu yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukannya.

Saya sering berpikir-pikir, apa harapan saya yang terbesar? Pertanyaan yang belakangan ini mulai saya pikirkan dengan baik-baik, karena berapa tahun belakangan ini saya membiarkan hidup mengalir bagaikan air. Tanpa tahu hendak mengarah kemana, ataupun melalui apa saja. Dengan konsep menerima segala hal, dan berpikiran positif, saya pikir tak ada salahnya. Apalagi dengan cara itu, saya tidak akan tertimpa apa yang namanya stress, frustasi, atau hal-hal yang disebabkan kecewa akibat target yang tidak tercapai. Pandangan itu saya dasari dari prinsip kemerdekaan tertinggi, saat saya bisa bebas dari segala keinginan. Tapi kemudiaan, di penghujung tingkat 4 yang normalnya menjadi akhir dari status saya sebagai mahasiswa, saya mulai mempertimbangkan kembali jalan hidup yang hendak saya pilih. Saya susuri lagi jalan kenangan sampai menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan cita-cita.

Dalam jalan kenangan itu, saya terakhir memiliki cita-cita ketika duduk di bangku SMP. Saya tidak yakin apa yang menyebabkan cita-cita terputus begitu saja. Saya seringkali mencari jawaban pada orang-orang yang dekat saya. Ketika saya bertanya pada ibu apa cita-cita beliau, jawabannya dari dulu masih sama, “Menjadi pemenang Nobel.” Karena sosok ibu merupakan orang yang paling dekat dengan kehidupan saya, maka waktu kecil saya juga bercita-cita menjadi pemenang Nobel. Perlahan, cita-cita itu bergeser kesana kemari sesuai tren. Tapi seingat saya, tak pernah ada profesi spesifik. Hanya sebuah keberhasilan tanpa profesi tertentu ataupun keadaan sehari-hari ketika besar nanti. Salah satu yang paling sering terlontar adalah menjadi seorang peneliti yang bisa keliling dunia. Mungkin ini juga terpengaruh oleh ibu saya, yang meski jalurnya sudah jauh dari peneliti, namun keingintahuannya masih sangat besar. Dan karena telah menyandang predikat ibu, kecintaannya pada ilmu pengetahuan disalurkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk membaca.

Ketika, zaman-zaman SD-SMP, ibu membeli beberapa jenis ensiklopedi. Bahkan ada beberapa buku terbitan Life yang tertera tahun 1982, bahkan sebelum saya lahir(dan kakak baru lahir). Ketika saya tanya, apakah ibu sudah sempat membaca semuanya, ibu saya menjawab belum, maksud belinya juga agar dibaca oleh anak-anak, ya salah satunya saya ini:D. Meski begitu, baru belakangan saja saya membuka koleksi ensiklopedi, sebelumnya saya tenggelam dalam kisah-kisah Enid Blyton mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Elizabeth Jadi Pengawas, Malory Towers, St. Claire, Sirkus Pak Galiano, Noddy, hingga buku saku. Cerita-cerita itu mengajarkan saya banyak hal, tentang kejujuran, keadilan, saling menghormati serta juga hidup penuh petualangan.

Karena dibesarkan dengan kisah-kisah seperti itu, cita-cita saya juga berada dalam kondisi ideal seperti negara-negara Eropa. Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang peneliti di universitas(namun bukan menjadi dosen). Hidup tenang, dengan jam kerja yang masih memungkinkan untuk mengurusi segala urusan keluarga dan waktu luang di akhir minggu. Namun bayangan tersebut seolah menemukan titik baliknya ketika SMP. Berita-berita mengenai kondisi dalam negeri seolah menghantam saya ke dalam jurang. Kondisi ideal yang saya bayangkan terasa sangat egois. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan apa yang saya inginkan, sementara banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan sebagaimana yang saya miliki. Keadaan ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Berbagai pemikiran mendera kepala saya. Ditambah keadaan yang cukup memadai untuk membaca dua koran per hari, saya berubah menjadi sosok yang gelisah.

Seingat saya saat itulah saya kehilangan cita-cita sebagai seorang peneliti. Bahkan jalur IPA yang sudah saya yakini sejak lama, tiba-tiba goyah menjadi jurusan komunikasi massa, ataupun FISIP. Meski pada akhirnya saya memilih jalur IPA sebagaimana yang telah saya bayangkan sejak kecil, namun saya tidak tahu apakah saya masih orang yang sama seperti dulu. Bahkan kini saya mulai berpikir apakah saya masih dalam keadaan sadar atau tidak. Membiarkan hidup dikendalikan oleh segala hal yang berasal dari luar. Meski dengan keyakinan adanya petunjuk, saya merasa tak ada salahnya juga hidup dalam keadaan seperti itu, memiliki fungsi sosial, mengikuti sebuah jalur formal, serta senantiasa berpikiran positif.

Tapi sekarang, saya memilih untuk merebut kembali kesadaran saya, dan saya harap saya bisa menemukan diri saya kembali. Baru-baru ini saya kembali memiliki cita-cita: menjadi penulis cerita anak-anak. Saya terinspirasi oleh kisah-kisah Enid Blyton yang mengajarkan kerja keras kejujuran serta pantang menyerah lewat tokoh-tokoh George, Dick, Julian, Anne serta Timmy. Belakangan ini saya kembali membaca buku cerita, salah satunya karangan Kate de Castillo yang baru saya sadari untuk anak-anak ketika pada halaman terakhir ada formulir untuk mengikuti Gramedia Junior. Bersih dari kisah cinta muda-mudi, ataupun prasangka, paling-paling sedikit kenakalan dan ide cerdas yang cukup merepotkan, seperti sebuah tanah liat yang belum dibentuk. Sekadar buat penyemangat, Lewis Caroll seorang matematikawan, juga menjadi penulis anak-anak Alice in Wonderland.

NB: kepada Sang Maha yang memberikan keluarga dengan kasih tanpa batas dan syarat, semoga Kau berkenan melimpahi mereka dengan kasih-Mu, sebagaimana yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar