Kamis, 01 Oktober 2009

Tukang Dongeng

Pernahkah kau mendengar dongeng tentang ksatria dan seorang putri? Kalaupun belum, setidaknya kau tentu pernah mendengar kisah mengenai Cinderella. Kisah seorang putri baik hati yang tertindas, kemudian karena bantuan ibu peri, ia bisa bertemu pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Kau tahu kenapa kisah dongeng Cinderella menjadi cerita klasik? Kalau kuberitahu, mungkin kau akan menganggap ini sebuah dongeng baru lagi, karena kau tahu, rahasia keabadian sebuah dongeng adalah ketika kau membiarkan pikiranmu melayang-layang, berimajinasi lepas, dan membiarkan segala kemustahilan yang ada membuatmu menyunggingkan seulas senyum. Kau tidak perlu menjadi seorang ahli untuk melakukan itu, kau cukup membiarkan pikiranmu terbuka.

Hal itu pulalah yang terjadi ketika seseorang menceritakan sebuah kisah padaku. Mungkin sekarang kau tengah menebak-nebak kisah apa yang akan kusampaikan dari puluhan dongeng Hans Christian Andersen ataupun Disney, tapi kali ini aku terpaksa mengecewakanmu, karena kisah ini tidak bercerita mengenai sepasang anak yang menemukan rumah terbuat dari kue ataupun seorang putri yang terperangkap bersama sosok buruk rupa, namun kisah ini dimulai dengan sebuah teori, teori fisika.

Kau mungkin akan menganggap cerita ini membosankan. Awalnya aku juga menduga kisah ini akan membosankan. Namun ajaibnya, ketika pendongeng itu mulai mengisahkan cerita mengenai hukum Newton dan Kuantum, aku mulai larut dalam antusiasmenya. Wajahnya tampak seperti pendongeng yang mengisi masa kecilku. Raut berubah-ubah sesuai dengan alur cerita yang dibawakan, ditambah kedua tangannya yang terkadang ikut bergoyang-goyang tanpa sadar. Kau mungkin heran, mana ada dongeng seperti itu?

Mungkin kau betul, mungkin memang tak ada dongeng seperti itu. Tapi kau mungkin akan percaya jika aku katakan hal ini. Ia berkata teori Newton yang aku peroleh selama ini sebenarnya hanya sebuah pendekatan, serta tidak merefleksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Hal ini terungkap ketika ditemukannya fisika modern, terutama mengenai kuantum yang mampu menjelaskan aksi-reaksi.

Nah, sekarang kau kaget bukan? Mana yang kau percayai, ilmu yang telah kau pelajari selama bertahun-tahun dan masih diajarkan sampai sekarang, atau sebuah cerita yang disampaikan oleh orang yang baru pertama kali kau temui. Tentu saja, ketika ia menyampaikan cerita itu pada beberapa orang yang mendengarkannya dengan terkagum-kagum, ia tidak mengaku bahwa ia seorang pendongeng. Kau mungkin bisa menduga-duga sebabnya. Aku sendiri berpikir jika seseorang mengakui dirinya sebagai pendongeng, maka tak akan ada yang mempercayainya. Tidak percaya? Sungguh aku tidak mengada-ada, coba saja kau tonton sebuah dongeng klasik, pasti kata-kata pembukanya dimulai dengan pada suatu waktu, disebuah kota dan seterusnya. Tak ada yang suka mengacaukan kejutan-kejutan di tengah cerita yang mungkin kau anggap tidak masuk akal. Karena itu aku paham ketika orang yang menceritakan kisah itu tak mau mengakui identitas aslinya.

Sayangnya, kisah dongeng itu tidak berakhir sampai disana. Aku menemukan kemiripin kisahnya ketika membaca sedikit mengenai teori kuantum. Mirip.. meski tentu saja, dengan ilmuku yang sangat sedikit dan ketidaktekunanku memahami sebuah teks, aku bisa berkata bahwa bisa saja kemiripan itu dipengaruhi pikiranku yang sudah terpengaruh kisah sang pendongeng. Tapi tetap saja kemiripan itu tak bisa kuenyahkan dengan mudah. Pikiran bahwa selama ini Newton diajarkan pada murid-murid SMP dengan alasan lebih sederhana dibandingkan teori kuantum, dan cukup memadai hingga akurasi tertentu meski bukan refleksi dari keadaan sesungguhnya cukup mengganggu. Bukan dalam artian bahwa aku menolak untuk belajar berbagai teori sebagai sebuah pembelajaran, namun lebih karena ternyata apa yang aku dapatkan di bangku sekolah tak lebih dari sebuah dongeng yang kebenarannya masih bisa digugat.

Misalnya untuk menghitung massa sebuah benda, aku menggunakan suatu formulasi yang telah ditetapkan. Dan ketika aku dikonfrontasi dengan sebuah ‘kebenaran’ baru, aku tidak tahu dasar yang harus aku pakai. Persis seperti kuliah analisis riil, ketika kami harus mulai mengkonstruksi barisan bilangan dari angka nol dan satu. Lalu mana yang bisa kusebut sebagai dongeng, dan mana yang riil? Apakah kau bisa membantu, atau jangan-jangan kau menganggapku sebagai seorang pendongeng juga?!

NB: Untuk orang-orang yang suka menceritakan hal-hal sophisticated, koq mirip dongeng ya?Ternyata batasan antara dongeng dengan fakta yang disampaikan kepada seseorang berbeda maqom(intelektual, ideologi, dll) sangat tipis. Malah bisa terjadi doktrinasi berkedok ilmiah, hanya karena lawan bicaranya kalah argumen(ketimpangan ilmu).

posted by ariani at 2:53 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar