Kamis, 01 Oktober 2009

membaca rasa

Beberapa hari belakangan Aksara mengadakan parade jalan-jalan. Minggu, jalan-jalan keliling kampus, Selasa jalan-jalan di BIP sekalian nunggu film Batman Begins, dan Rabu ke tobucil dan Aula Barat ngeliatin karya TPB anak SR. Kurang tepat juga kalau dibilang Aksara, soalnya yang ikut Cuma empat-enam orang, tapi kegiatannya khas Aksara banget: spontan dan lucu.

Aku lagi mikir kenapa jalan-jalan keliling kampus bisa menyenangkan. Tempatnya biasa banget, gimana ngga wong nyaris setiap hari masih harus ke kampus, teman-temannya juga sering banget ketemu di Salman, tapi tetap aja ada hal-hal yang bisa membuatku terheran-heran dan tertawa. Seperti ketika kami naik ke gedung PAU lantai 8. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 ketika kami naik menggunakan lift sempit berkapasitas 10 orang. Diisi kami berenam saja sudah cukup sesak, gimana kalau ditambah 4 orang lagi. Daripada bingung-bingung membayangkan, kami berbaris dengan rapih di lift temaram tersebut sambil memikirkan proporsi orang yang bisa mengisi ruang kosong yang tersisa. Kayanya rada maksa juga kalau diisi sampai kapasitas maksimum.

Lift berhenti dengan gaya unik, jegrek... Mirip naik roller coaster ketika hendak jalan, mengejutkan. Untungnya tidak terjadi apa-apa, setelah berhenti liftnya terbuka normal. Suasana lantai 8 cukup sepi, kami hanya berpapasan dengan satu orang yang hendak turun kebawah. Dari lantai tersebut kami bisa melihat pemandangan gunung Tangkuban Perahu, dan dari sisi lainnya kami bisa mengamati mentari yang memancarkan cahaya merah jingga. Bentuknya masih bulat, tapi posisinya sudah mau tenggelam. Sayang, pintu menuju keluar terkunci, jadi kami hanya bisa mengamati dari balik kaca.

Saat sedang melihat-lihat di depan sekre radio 8EH, tiba-tiba Yan, Ales, Arief, dan Sra berlari-lari. “Apaan nih?” pikirku heran. Sambil ikutan lari-lari, aku mulai mikir yang aneh-aneh, apalagi ITB punya banyak cerita spooky-spooky. Tapi yang bikin aku curiga, mereka lari sambil cengar-cengir, sambil sesekali bersembunyi dibalik tiang layaknya sedang melakukan pengintaian ala detektif. “Ssst...,” kata salah seorang mereka. “Hmm, kayanya ada petugas deh,” mencoba mencari jawaban yang lebih masuk akal. Sesampainya kami di dekat lift, kami bersembunyi di balik tembok. Akhirnya aku tahu kalau mereka semua mau ngerjain Salim yang tertinggal di belakang.

Keadaan yang cukup sepi membuat suara cekikikan kami terdengar cukup jelas, tak beberapa lama kami pun ketahuan. Yah, sebenarnya sih karena kami memang tidak benar-benar bersembunyi. Kegiatan-kegiatan yang kalau dipikir-pikir konyol, tapi menyenangkan. Kayanya semua orang punya sisi kekanak-kanakan yang tersembunyi deh. Bayangin aja 5 orang mahasiswa dengan tas di punggung, lari-lari di gedung yang udah nyaris kosong, sore-sore hari Minggu pula. Rada-rada ajaib bukan?

Ternyata mencari kegiatan menyenangkan tidak begitu sulit. Cukup berkumpul dengan orang-orang dekat, tidak peduli kegiatannya konyol atau keren rasanya tetap sama. Hal yang juga aku peroleh ketika jalan-jalan ke BIP, bagiku selain filmnya yang memang keren, kebersamaan seusai film selesai sama menyenangkannya. Komentar-komentar nyleneh gara-gara waktu mau turun dengan eskalator ada bau tidak sedap, lontaran-lontaran yang mampu memancing tawa, semuanya memberi kesan menyenangkan bagiku.

Mungkin karena waktu SMK aku tinggal di asrama. Segala hal dilakukan secara bersama-sama. Tak ada ruang bagi kesedihan yang berlarut-larut, tersapu tawa kawan yang menghibur silih berganti. Kebersamaan yang menurutku menghilangkan ego seseorang. Kebahagian berarti kebersamaan, lebur, menyatu. Bahkan aku juga belajar bagaimana kebahagiaan bisa menular. Hanya dengan melihat teman senang, perasaan kita turut nyaman. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa teman, hii...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar