Kamis, 01 Oktober 2009

kehidupan

Cinta...
Sirna...
Satu...
Padu...

Adakah seseorang yang menolak disayang, dicintai, diinginkan? Hidup dalam kesendirian, kesepian, karena telah memiliki segala. Berkawan materi, gunjingan-gunjingan, dan bedak berlapis-lapis karena tengah berjerawat. Dengan sepatu kulit impor yang harganya dapat menghidupi sebuah keluarga sederhana selama satu bulan. Mobil mewah berjajar di garasi, dengan orang-orang yang siap membantu membukakan pintu hingga semir sepatu. Dalam salah satu adegan, sang ibu dengan kalung-kalung bertatahkan berlian, mencium anaknya. Dinasehatinya anak itu panjang lebar. Namun matanya kosong, sang anak pun mendengarkan sambil menambahkan sepotong ya pada bagian pertanyaan.

Tak jauh dari rumah megah itu, ada seorang ayah yang baru saja di PHK. Sang istri yang menjadi babu cuci tak dapat membantu banyak. Padahal sebentar lagi anak mereka akan kembali bersekolah setelah libur kenaikan kelas. Itu artinya ia harus siap mengeluarkan uang lebih. Dengan mata tak berdaya dipandanginya angka satu di rapot anaknya. Sudah berulang kali tertoreh angka satu di peringkat kelas. Angka yang tak hanya membuat bangga, namun lebih menorehkan luka. Perasaan terkoyak karena tak dapat berbuat banyak karena masalah biaya.

Sang anak memang tak pernah berharap banyak. Ia selalu berkata, ia selalu siap kalau harus berhenti sekolah. Tangan-tangan mungil anak usia empat SD itu bahkan sudah tahu bagaimana mencari uang dengan mengambil kue-kue tetangganya untuk dititipkan di koperasi sekolah. Tangan-tangan yang juga mengangkat tangannya kepada Sang Maha Kuasa dan senantiasa berdoa untuk dapat menjadi orang besar. Pinta yang diucapkan setiap kali, layaknya tasbih. Hingga meski tak pernah terkatakan, sang ayah tahu mimpi-mimpi anaknya.

Di tengah kegalauan, bimbang dan putus asa sang ayah menjadi gelap mata. Dilihatnya anak yang tak pernah merasakan tanah lumpur. Sepatu olahraga yang tampak selalu baru, tas berwarna, dan mobil lengkap sopir yang mengantarkannya kemana-mana. Dicarinya akal agar dapat merampas sesuatu dari anak itu, agar tak hanya anak orang kaya yang dapat merasakan bahagia. Ia ingin anaknya dapat merasakan hak yang sama, barang-barang keluaran pabrik, mengkilap dan harum. Pikiran-pikiran itu kian sering menggodanya, terutama semenjak ia tak lagi dapat membantu istrinya.

Di tengah rasa frustasi, ia mulai suka melayang. Alkohol menjadi salah satu kawan terbaiknya. Memberikan detik-detik paling bebas dalam hidupnya. Ia merasa begitu merdeka untuk melayangkan tangannya ke wajah sang istri yang kini lebih sering menangis. “Ah, berisik,” ketika sang istri menolak memberikannya uang sambil memberikan sebuah pukulan yang menorehkan lebam di pipi.

Kejadian itu berulang. Dan kali ini sang suami mulai mencari cara lain untuk memperoleh uang. Ia berniat untuk melaksanakan rencananya terhadap keluarga kaya itu. Ia akan menculik anak yang baginya tampak terlalu bahagia itu. Kenapa ada orang yang berhak menerima semua itu sedangkan dirinya harus terperangkap dalam kemiskinan, ketidakberdayaan, dan dilecehkan oleh istrinya sendiri. Kemarahan itu begitu menggebu-gebu. Menghentak, membuncah, hingga nyaris tak tertahankan. Dengan sisa-sisa akalnya, ia menyusun sebuah rencana penculikan.

Dan terjadilah. Ketika anak tersebut sedang menunggu jemputan di sekolahnya, laki-laki yang gelap mata itu menculik anak itu. Rencananya sederhana, untuk meminta uang tebusan, sama seperti yang sering dilihatnya di sinetron. Bukankah itu artinya keadilan, ketika setiap orang bisa merasakan hal yang sama, dan bagi dirinya, inilah saatnya ia bisa memperoleh uang banyak, dan membuat orang-orang yang tampak terlalu sempurna itu untuk menderita.

Di sebuah tempat yang sepi ia mengikat mulut anak itu. Tapi setetes air membuatnya terkejut. Mata anak itu mengeluarkan air dan menyiratkan ketakutan. Laki-laki itu sekilas teringat anaknya di rumah. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, anak itu tidak menjerit-jerit mencari ibunya, melainkan hanya menangis tergugu dan pasrah. Kebeningan mata anak itu membuatnya takut, perasaan yang sudah lama tak dirasakannya. “Ternyata orang kaya bisa menangis juga,” pikirnya. Ketika ia memeluk anak itu, tangisan itu malah terdengar lebih keras. “Su...su..sudah la..lama, ibu saya tak me..melakukannya,” ucap sang anak dengan tergugu.

Kata-kata itu langsung menghancurkan pertahanan penculik. Dengan airmata yang membuat pandangannya kabur, ia melepaskan ikatan di tangan anak itu dan menyuruhnya pergi. Sementara sang ibu yang telah diberitahu oleh sopir bahwa anaknya tak ada di sekolah mulai merasa cemas. Pikiran-pikiran mengenai model baju terbaru musim ini yang tadi diperbincangkan seru di arisan, sirna. Perbincangan anak saya ikut les ini-itu, menang lomba antah berantah, hingga piala-piala kecil yang menghiasi salah satu pojok ruang tamunya terasa mengejek. Dengan perasaan galau dibantingnya salah satu piala milik anaknya.

Piala itu diperoleh anaknya ketika harus mengikuti lomba aritmatik. Di bagian bawahnya tertulis juara harapan I. Saat hendak mengikuti lomba itu, sang anak menolak ikut karena merasa tak enak badan. Tapi saat itu ia memaksa anaknya untuk tetap ikut. Minggu lalu, teman arisannya bercerita mengenai keberhasilan anaknya menang lomba. Ia tak mau kalah, ia merasa anaknya adalah yang terbaik dan tak terkalahkan. Karena itu ketika anaknya hanya memperoleh juara harapan, ia merasa sangat marah.

Potongan-potongan itu menyerangnya, menyerbunya, membuat kilatan-kilatan peristiwa. Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. “Ma, ini ade. Ade ada ada di dekat SD Harapan Bangsa. Tolong jemput ade ya, Ma.” Dengan langkah tergopoh, ibu itu langsung meminta sopirnya untuk ke sekolah. Baru kali itu ia tidak memikirkan tatanan rambutnya, atau parfum apa yang harus dikenakannya. Ia merasa menjadi orang yang begitu jahat dan egois hingga nyaris kehilangan putranya sendiri. Kehilangan yang sebenarnya sudah terjadi bebapa tahun semenjak ia mengambil jarak, dan menutup hatinya.

Dari kejauhan dilihatnya putra semata wayangnya itu. Dengan baju agak berantakan dan wajah sedikit pucat. “Sudah berapa lama saya tak melihatnya tertawa lepas,” pikir sang ibu sedih. Ketika mobil berhenti, sang ibu langsung turun sambil memeluk anaknya yang baru kelas 3 SD itu. “Maafkan, ibu nak. Ibu minta maaf. Apa kamu ngga apa-apa Yang?” Sang anak hanya menguatkan dekapan pada ibunya.

Sementara laki-laki yang gelap mata, mulai berusaha bangkit. Dipandanginya lautan sampah yang ada di matanya. Perlahan ia mulai mengumpulkan botol-botol bekas. Ia bertekad, tak akan pulang ke rumah dengan kosong. Ia tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ia rindu tatapan anak dan istri yang begitu menyayanginya. Ia ingin menjadi bagian dari kehidupan itu kembali.
Untuk teman-temanku di Siaware tujuh: Saat kehidupanku beririsan denganmu, kau telah menjadi bagian dari diriku. Sang Sutradara telah menggariskan kisah ini untukku, untuk membuatku kuat, dan menyadari bahwa ternyata kaupun tak sempurna. Aku melihat diriku dalam dirimu, dan itu membuatku merasa kita adalah satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar