Kamis, 01 Oktober 2009

Dari sekian klasifikasi, santri-abangan hingga fundamentalis-liberal, saya tak berhasil memposisikan diri. Pun jika dikaji dengan pendekatan ormas seperti NU, Muhammadiyah maupun Persis. Kalaupun ada kata yang cukup mencerminkan warna keberagamaan saya, saya memilih moderat dengan segala penafsiran dan pengertiannya. Kadang saya memposisikan sebagai seorang naturalis, namun disaat lain saya menutup segala pikiran saya dan melakukan kegiatan yang acap disebut dogmatis.

Entahlah, kadang saya suka bingung. Antara universalitas, logika, hingga keterbatasan manusia. Apa yang disebut dengan kebenaran? Apakah manusia memiliki hak untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah? Jawaban atas pertanyaan terakhir bagi saya adalah tidak. Tapi entah kenapa, belakangan ini kian banyak orang yang mengklaim kebenaran. Bukankah mengambil hak prerogatif Allah sama saja dengan syirik? Lalu kenapa masih ada yang suka sombong dengan keberimanannya, mengaku paling benar dan mengklaim yang lain salah?

Disisi lain, kalau setiap orang tenggelam dalam kebenarannya masing-masing, bagaimana keyakinan itu dapat diperoleh? Apa yang menyebabkan seseorang yakin, dan kemudian memanifestasikan keyakinannya itu dalam bentuk tindakan? Seperti perintah untuk berperang yang turun melalui tiga tahap, bagaimana dengan kondisi saat ini, saat banyak negara yang berkobar atas nama Tuhan. Bukankah kecendrungan manusia adalah pada perdamaian?

Lalu kalau semua agama cenderung pada perdamaian--sebagaimana yang didoktrinkan dalam buku PPKn masa SMA dimana terdapat kutipan-kutipan dari berbagai kitab yang menyebutkan benang merah semua agama adalah kebaikan dan cinta damai—mengapa peperangan menjadi bagian dari sejarah manusia? Terus menerus tanpa henti, hanya berganti rupa. Lewat bom atom yang bisa digerakkan dari jarak ribuan kilometer, atau perang terselubung berupa pemikiran.

Kenapa semuanya senang pada konflik? Meski ada teori yang menyebutkan manusia tak pernah bisa mengenyahkan insting hewani sepenuhnya. Kalaupun dalam tampilan luar terlihat wajar, ia membutuhkan pelampiasan. Hal inilah yang mengakibatkan game-game perang-perangan maupun duel menjadi game paling laku sepanjang massa. Demikian pula dengan adu tinju, gulat, maupun wrestling di TV. Taruhan yang memnyertai pertandingan itu, jeritan-jeritan penuh semangat seolah merayakan sisi hewaniah manusia yang tak berhasil dijinakkan.

Apakah agama itu? Ditilik dari a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, seharusnya agama merupakan petunjuk jalan yang menghantarkan manusia pada keteraturan. Tapi keteraturan macam apa, hukum-hukum yang bagaimana? Dan kenapa selalu atas nama agama? Apakah hanya kedok budaya dengan tabu-nya(pake pendekatan psikologis), atau ketika seseorang telah memutuskan beragama, maka ia telah menyatukan jiwa dan raganya kepada keyakinannya itu?

Lalu kenapa masih ada korupsi, pencurian, ketimpangan, dan segala tetek bengek lainnya? Apakah semua hal itu tak ada kaitannya dengan gaya hidup? Apakah agama hanya mengurusi masalah-masalah besar seperti perdamaian di muka bumi, isu terorisme hingga memicu diadakannya dialog interfaith yang kedua? Semuanya tampak non sense. Saat membicarakan masalah-masalah besar, semua orang tampak peduli dan alim-alim, tapi begitu dihadapkan dengan kehidupan sehari-hari tak tampak jejak agama. Agama lenyap dengan segala kemegahannya. Timpang, tak utuh, cacat.

Apa yang salah? Semua pemeluk agama pasti akan membela agamanya mati-matian, hingga titik darah penghabisan kalau perlu. Agama menjadi sumber kebenaran dan juga sumber harapan. Karena itu pula psikologi materialisme menuduh agama hanyalah bentuk pelarian manusia akan sosok ‘ayah-ibu.’ Atau mengutip kata-kata Marx yang terkenal: agama adalah candu. Meski kalau melihat dari kacamata Jung(yang terdistorsi lagi oleh kacamata yang saya gunakan), agama merupakan kebutuhan dasar manusia. Jadi ‘aku’ dalam diri tiap manusia pada dasarnya bisa membantu alam sadar manusia untuk mengenali eksistensinya(lagi baca buku Zen & Psikoanalisis, tapi logikanya masih belepotan didalam kepala).

Dengan begitu agama yang kalau diartikan secara umum merupakan keyakinan seseorang yang berasal dari kitab suci(dalam pelajaran-pelajaran zaman baheula, agama dibedakan dengan kepercayaan, yang sumbernya tidak berasal dari kitab suci) merupakan jalan hidup, way of life seseorang. Didalamnya terdapat masalah-masalah profan, transenden, hingga yang skala mikro. Hua..ah alur berpikirnya kacau banget.

Agama mengantarkan seseorang pada keselamatan(p => q)
Seseorang tidak selamat (~q)
Kesimpulannya: tidak beragama(~p)
(ket: p => q ekivalen dengan ~q => ~p)

Nah, kalau sekarang kondisi yang kita hadapi kacau balau, kemungkinannya ada dua. Saya sebagai pengamat yang bermaksud objektif tapi ngga mungkin(saya kontra dengan pemisahan objektivitas dan afek versi Descartes), yang salah dalam memberikan penilaian(saya melihatnya sebagai kekacauan, padahal kondisi sebenarnya baik-baik saja) atau kondisi sekarang adalah kondisi tidak beragama(meski kadarnya mungkin bisa berbeda-beda bagi tiap orang)?

Saya cenderung pada pilihan kedua. Tapi lagi-lagi pilihan saya ini dipengaruhi asumsi awal bahwa kondisi yang saya lihat adalah benar. Sama ketika teman saya marah-marah pada diskusi dengan sebuah golongan. “Masa Yut, mereka bilang kaya gini: Semua manusia pasti pernah berbuat salah, Nabi adalah seorang manusia, kesimpulannya: Nabi pasti pernah berbuat salah.” Terlepas dari perdebatan yang panjang lebar mengenai kema’suman seorang Nabi, premis diatas juga tak lepas dari asumsi dasar: semua manusia pasti pernah berbuat salah. Padahal pernyataan itu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan cara mengambil manusia sebarang, kemudian menggunakan metode induksi. Tentu saja hal itu sangat rumit. Sebaliknya untuk membuktikan pernyataan tersebut salah cukup mengambil satu contoh penyangkal. Membuktikan suatu pernyataan benar jauh lebih sulit dibandingkan membuktikannya salah. (Udah, ah, keterangan lebih lanjut mending ikut kuliah anril aja).

Intinya, manusia itu sebenarnya subjektif(huehehe... jadi ngikutin Wittgenstein dan Kiekergard deh), jadi untuk bertahan di dunia yang fana ini kita harus menemukan eksistensi dalam diri masing-masing. Seperti peran analisis dalam psikoanalisis dan master dalam Zen, manusia harus berhasil mendamaikan alam bawah sadarnya dengan sadar, atau dalam bahasa Zen menembus batasan ‘aku’ dalam dirinya, jalan dari perbudakan menuju pembebasan diri. Kalau psikoanalisis melakukannya dengan sosok analisis, maka Zen menggunakan metode meditasi, koan dll. Saya lebih cenderung pada cara Zen, yang sejalan dengan apa yang saya yakini. Agama yang dalam hal ini didefinisikan bersumber pada sebuah kitab, merupakan petunjuk jalan bagi manusia untuk menemukan eksistensi dirinya sebagai seorang abd’ dan menuju Yang Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar